Rabu 20 May 2020 11:59 WIB

Jejak Progresivitas Islam Bung Karno

Keislaman Bung Karno tak lepas dari kata progresif.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Muhammad Hafil
Jejak Progresivitas Islam Bung Karno. Foto: Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Jejak Progresivitas Islam Bung Karno. Foto: Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa tak kenal dengan Proklamator Republik Indonesia Soekarno. Sosoknya langsung terbayang bila nasionalisme Indonesia dibicarakan. Namun, terlepas dari nasionalisme dan pikiran ideologisnya, Soekarno adalah seorang yang beragama Islam.

Sebagai seorang pemeluk Islam, lantas seperti apa pemikiran Soekarno soal Islam?

Baca Juga

Keislaman Sang Proklamator tak lepas dari kata progresif dan pembaruan. Setidaknya kesan tersebut tergambarkan dalam diskusi yang digelar oleh laman sejarah kontemporer Historia.id pada Selasa (19/4) sore antara Pemimpin Redaksi Historia, Bonnie Triyana dan aktivis sekaligus tokoh intelektual Hamid Basyaib.

Bonnie membuka kisah tentang Keislaman Soekarno tentang bagaimana sang Proklamator menciptakan tamsil bagi umat Islam Indonesia dalam menghadapi konteks perkembangan zaman. Ia menceritakan kisah saat Soekarno diasingkan di Ende.

Saat itu, Soekarno mempunyai anjing yang dinamai Ketuk. Anjing itu lalu menjilat air yang ada di dalam sebuah panci. Anak angkat Soekarno, Omi alias Ratna Djuami lalu mengadu ke Soekarno. Ratna bertanya pada Soekarno apakah panci tersebut musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Lalu Soekarno menjawab,  “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin," papar Bonnie mengucapkan kalimat Soekarno. Lalu Sukarno menjelaskan, bahwa fungsi air sabun atau kreolin seperti layaknya air dan tanah dalam mensucikan najis seperti yang dijelaskan oleh Nabi.

"Bung Karno tidak menutup pikirannya untuk melihat kemajuan soal zaman dan pikiran ilmu pengetahuan sebagai acuan dalam keislamannya," papar Bonnie.

Masih menurut Bonnie, kala itu, Bung Karno memang menulis berbagai hal, termasuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi kaum muslim saat itu, bukan hanya di Indonesia maupun berbagai belahan dunia.

Kisah soal anjing menjilat panci ini dimasukkan Bung Karno dalam artikel Pandji Islam redaksi Maulid April 1940. Judulnya cukup keras: “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara.” Kisah itu menunjukkan sosok Bung Karno sebagai seorang muslim yang progresif. Di samping itu, sikap tersebut juga menunjukkan kritik Soekarno terhadap pandangan Islam yang kuno dan tertinggal.

Dalam diskursus yang sama, aktivis sekaligus Intelektual Hamid Basyaib menggambarkan sikap Soekarno yang ingin melakukan pembaruan. Menurut mantan wartawan yang banyak menulis buku soal Islam ini, Soekarno berkeinginan agar umat Islam tak 'membebek' pada aturan Fiqih yang muncul di Abad Pertengahan.

Pandangan Soekarno ini memicu perdebatan dan diskusi dengan pendiri Masyumi, Mohammad Natsir. Debat keduanya kemudian terbukukan dengan tajuk Kapita Selekta. Natsir yang saat itu memakai nama pena kerap berkorespondensi dengan Bung Karno. Sementara, Bung Karno memang kerap bertukar pandangan dengan berbagai tokoh muslim pula.

Membaca korespondensi dan catatan Bung Karno, Hamid Basyaib dengan yakin menyematkan Bung Karno sebagai sosok Islam Liberal. Namun, ia mengakui pula penyematan kata 'Liberal' itu menimbulkan penentangan. Hamid ingat betul pernah memberikan cap 'Islam liberal' ke Bung Karno dalam sebuah diskusi dengan PDI Perjuangan, dan langsung mendapat resistensi.

"Bung Karno itu sangat liberal, saya bilang begitu tapi kata liberal sebagai dirty word di Indonesia. Sebab mereka (masyarakat) membaca liberal dari buku yang ditulis anti liberal," ujar Hamid.

Terlepas dari perdebatan soal frasa liberal, Hamid menekankan bahwa Bung Karno ingin umat Islam itu merdeka. Merdeka dalam artian, umat Islam di masa modern agar tak mengikuti secara buta ajaran para Fuqaha yang muncul di abad pertengahan. "Umat islam harus ikut perkembangan tanpa meninggalkan keislamannya," ujarnya menggambarkan pikiran Soekarno.

Lebih lanjut, menurut Hamid, bahkan Soekarno terinspirasi dari sosok Mustafa Kemal Ataturk, Presiden Turki yang memimpin revolusi di negara itu. Ataturk mengapuskan kekhalifahan Ustmaniyah karena tak sesuai perkembangan zaman, bahkan memperbolehkan adzan dan sholat berbahasa Turki dengan berpegang pada Mazhab Hanafi demi pemahaman Islam yang lebih progresif.

Tindakan revolusi keislaman Bung Karno memang tak sejauh Ataturk. Namun, kata Hamid, bung Karno mulai menyadari bahwa modernisme tak bisa dihindarkan.

Kesadaran ini salah satunya bermula Bung Karno sempat merasa seolah ada kompetisi antara modernitas dan Islam. Ini terjadi saat dirinya hendak menikahi putri pimpinan Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto, Siti Oetari. Sang penghulu pernikahan menolak menikahkan Bung Karno yang memakai jas kebarat-baratan layaknya orang 'kafir'.

Hamid mengatakan, Soekarno berpikir bahwa seharusnya Islam mampu terus berpacu bersama modernitas tanpa menghilangkan keislamannya. Di sisi lain, Bung Karno tak mau mengemukakan secara eksplisit bahwa modernitas itu identik dengan 'Kebaratan' karena akan bertentangan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang dijajah Barat.

Maka, yang ditekankan Bung Karno adalah, Islam harus mampu bersaing dengan cara berpikir yang modern, tidak terbelakang, progresif dan maju secara ilmiah. "Pokoknya ambil substansinya progresifitas, dan maju ilmiah," papar Hamid.

Sikap Soekarno yang progresif dan modern inilah yang juga disinyalir menjadi alasan Bung Karno bergabung bersama Muhammadiyah. Organisasi Islam besar itu memiki visi yang dirasa pas, yakni membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik.

"Bung Karno Muhammadiyah. Bahkan beliau pernah bilang kalau meninggal badannya ingin dibungkus dengan bendera Muhammadiyah," ujar Hamid.

Diakui Hamid, amat sulit untuk melacak sanad keislaman dan rantai interaksi intelektual yang memberikan pengaruh langsung secara rinci pada pemikiran Islam Bung Karno. Di samping itu, kata Hamid, bung Karno pun tak pernah ingin menjadi cendekiawan Islam.

Pada intinya, tambah Hamid, Bung Karno selalu menekankan agar Islam tetap hadir sebagai pembaharu zaman. "Menurut saya spirit bung Karno itu selalu relevan dalam keislaman Indonesia," ujar Komisaris Utama Balai Pustaka itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement