Rabu 20 May 2020 19:33 WIB

Mengapa Ada Gerakan Hashtag #IndonesiaTerserah?

Hashtag #IndonesiaTerserah telah menjadi tren

Red:
Petugas medis dari Dinas Kesehatan Kota Bandung mengambil sampel lendir dari seorang tenaga kesehatan saat tes swab Covid-19 di Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Rabu (13/5). Tes swab yang dilakukan kepada 100 peserta secara acak yang terdiri dari petugas kepolisian, TNI, Satpol PP, Dishub, tenaga kesehatan, pedagang, awak bus dan warga sekitar tersebut bertujuan untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran covid-19 di kawasan tersebut
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas medis dari Dinas Kesehatan Kota Bandung mengambil sampel lendir dari seorang tenaga kesehatan saat tes swab Covid-19 di Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Rabu (13/5). Tes swab yang dilakukan kepada 100 peserta secara acak yang terdiri dari petugas kepolisian, TNI, Satpol PP, Dishub, tenaga kesehatan, pedagang, awak bus dan warga sekitar tersebut bertujuan untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran covid-19 di kawasan tersebut

Hashtag #IndonesiaTerserah telah menjadi tren di media sosial, di mana banyak orang Indonesia, termasuk pekerja medis, mengungkapkan rasa frustrasi mereka pada apa yang mereka lihat sebagai tanggapan pemerintah yang tidak konsisten.

"Tagar ini dimulai oleh pekerja medis yang merasa bahwa perjuangan mereka di garis depan tidak dihargai pemerintah." kata Anita Wahid, presidium MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), sebuah organisasi masyarakat sipil yang memantau berita serta meliterasi masyarakat soal hoax.

"Mereka tidak bisa bertemu keluarga mereka karena risiko tinggi tidak dihargai oleh Pemerintah, yang telah memutuskan untuk melonggarkan pembatasan,"

"Ini adalah ekspresi kekecewaan mereka atas kebijakan Pemerintah yang setengah hati."

Meski mengaku memahami reaksi dari rekan tenaga medis yang sedikit terbawa emosi melihat kondisi Indonesia saat ini terkait COVID-19, dr Fala Adinda yang sehari-hari bertugas di Rumah Sakit COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta menegaskan bahwa sebagai dokter, ia tidak akan menyerah.

"Sebagai tenaga medis, kami kan sudah disumpah atas nama Tuhan untuk mengutamakan kemanusiaan dan mahluk hidup lain di atas kepentingan sendiri."

"Kami bisa pasrah pada kebijakan pemerintah, tapi kami nggak akan menyerah melayani pasien-pasien yang masuk," kata dr Fala kepada Hellena Souisa dari ABC.

 

Namun dr Fala juga mengingatkan, akan ada "titik nadir" di mana kebijakan pemerintah yang menurutnya selama ini simpang-siur nantinya akan sangat berdampak pada tenaga kesehatan.

Fala berpendapat, kebijakan pemerintah dan sosialisasinya kepada masyarakat sangat krusial dalam menekan penyebaran COVID-19.

"Sebenarnya tenaga medis ini adalah pintu terakhir untuk penyelesaian masalah, jadi sebisa mungkin jangan sampai ke kami."

"Tapi bagaimana nih [komunikasi dan kebijakan] dari sentral untuk menyelesaikan masalah ini dengan masyarakat," ujar Fala.

Selain kebijakan, dr Fala juga menyadari ada banyak faktor yang memperumit situasi COVID-19 di Indonesia, mulai dari soal data, pengetesan, sampai faktor masyarakat itu sendiri.

Tak siap data yang cepat dan tepat

Lebih dari dua bulan setelah pasien pertama COVID-19 di Indonesia terdeteksi, Kepala Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bambang Surya Putra, mengakui Indonesia tak siap data yang cepat dan tepat.

"Pada saat ini posisinya semua masih kaget, semua tidak serta merta siap dengan komunikasi data," kata Bambang melalui konferensi pers online BNPB (13/05).

Padahal, Indonesia adalah negara yang relatif belakangan terinfeksi sejak pertama kali corona mewabah di Wuhan pada Januari 2020.

Dalam situasi seperti sekarang, BNPB menilai ketersediaan data dibutuhkan sangat cepat, agar tim penanggulangan dapat memperhitungkan kebutuhan secara cepat.

Bambang mengambil contoh data alat pelindung diri (APD) yang dibutuhkan seluruh rumah sakit, kebutuhan reagen, dan lainnya.

Menurut BNPB, data yang lambat tersedia bisa mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.

"Perlu diingat, kita kan bersaing dengan COVID-19. Ketika kami lambat, tentu akan berpengaruh ke semua hal," kata Bambang.

Ketersediaan data bukan satu-satunya masalah dalam penanganan COVID-19 di Indonesia.

Dalam pemberitaan ABC sebelumnya, pemerintah juga dinilai kurang melibatkan ilmuwan dalam proses pembuatan kebijakan terkait COVID-19

 

Pandu Riono, pakar kesehatan publik dan epidemiologi dari Universitas Indonesia juga menilai, LIPI dan Kementerian Ristek dan Dikti belum berfungsi menjadi wadah penghimpun masukan-masukan dari ilmuwan sehingga dapat secara sistematis dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.

"Walaupun nantinya mungkin masukan-masukan itu nggak terpakai juga ya. Paling tidak ada uji coba, karena situasi pandemi ini masih panjang dan kita masih akan menghadapi isu ini," katanya.

Soal data, Pandu meminta pemerintah lebih transparan lagi karena masih ada data yang tidak dilaporkan, misalnya jumlah kematian pasien yang berstatus PDP.

Data ini tidak dimasukkan pemerintah ke data angka kematian akibat corona.

Kebijakan yang tidak jelas dan tegas

Pekan lalu, beredar gambar-gambar dari bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang memperlihatkan antrean panjang dan keramaian di pengujung Ramadan.

Gambar yang beredar di media sosial ini memicu kemarahan sejumlah besar warga yang berusaha mematuhi aturan PSBB.

 

Senior Manager Branch Communications & Legal Bandara Soekarno-Hatta, Febri Toga, menjelaskan kepadatan dipicu oleh 11 penerbangan milik Lion Air Grup dan dua penerbangan Citilink yang berangkat hampir bersamaan antara pukul 06.00-08.00.

Kondisi tersebut membuat berbagai pihak mempertanyakan ketegasan pemerintah untuk menekan penyebaran virus corona.

Pemerintah memang telah melarang mudik, tetapi memungkinkan mereka yang perlu kembali ke kampung halamannya karena alasan ekonomi.

"Pemerintah membedakan antara kembali ke kampung halaman karena alasan ekonomi, untuk jaring pengaman, yang tidak dilarang, tapi pulang untuk merayakan akhir Ramadhan, itu dilarang," kata Zulfan Tadjoeddin, profesor Studi Pembangunan di Western Sydney University.

"Diferensiasi semacam itu, saya pikir bagus. Tetapi implementasinya sulit."

Selain soal mudik dan pulang kampung, pembukaan kembali bandar udara juga menjadi salah satu kebijakan yang dinilai tidak jelas dan tegas.

Ini karena sebelumnya Kementerian Perhubungan menghentikan sementara aktifitas penerbangan komersil terjadwal dalam negeri terhitung mulai 25 April hingga 1 Juni 2020 dalam rangka pengendalian transportasi selama masa mudik Lebaran untuk memutus penyebaran COVID-19.

Padahal, menurut dr Fala Adinda, penutupan bandara sangat penting dalam masa pandemi ini.

"Sebenarnya kan kita harus tutup border ya. Tujuannya kan bukan hanya [menghentikan] penularan virus, tapi juga strain yang berbeda-beda dari seluruh dunia diharapkan tidak masuk Indonesia."

"Tapi bandara tiba-tiba dibuka dan kita jadi overwhelmed dengan pasien-pasien dari penerbangan internasional," tutur Fala.

 

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, juga mempertanyakan sikap pemerintah yang melarang warga berkumpul di masjid, tetapi tidak tegas melarang orang-orang yang berkumpul di bandara, pusat perbelanjaan dan perkantoran saat pandemi.

"Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah, tapi di sisi lain kita longgar."

"Pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mall, di bandara, di kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya," kata Anwar dalam keterangan resminya, Minggu (17/05).

MUI sendiri telah menerbitkan fatwa supaya umat Islam di daerah yang berada dalam tingkat penyebaran virus corona yang cukup tinggi supaya beribadah di rumah masing-masing.

Tetapi kepada ABC, Juru Bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menekankan bahwa apapun yang diumumkan pemerintah, implementasinya harus mengacu ke aturan PSBB.

"Kita masih PSBB, semua konteksnya masih PSBB. Mau ada pengumuman apapun, PSBB sudah dan masih berjalan dan akan dilakukan seperti itu."

Ancaman penyebaran COVID-19 saat hari raya

Kerumunan yang dapat ditemukan di beberapa tempat di Indonesia juga menjadi perhatian Dr Nuning Nuraini, Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB, yang masih melihat ketidakpatuhan masyarakat pada aturan PSBB.

"Konsekuensi dari hasil ini adalah kemungkinan akan muncul klaster baru dari penyebaran penyakit, dan jika tidak mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan, tentu saja berpeluang untuk menghasilkan kasus baru."

Menurut pemodelan yang dikerjakan oleh tim Dr Nuning pertengahan April lalu, pergerakan masyarakat dari wilayah dengan kasus COVID-19 kemungkinan dapat menimbulkan ledakan kasus di wilayah tujuan mudik.

Menjelang Ramadan, skenario ini dikhawatirkan dapat terwujud bila tidak diantisipasi dengan baik.

"Momen Lebaran tidak bisa dihindari [karena] menjadi salah satu waktu yang berpotensi untuk meningkatkan potensi tingginya penyebaran penyakit," kata dia.

"Dikhawatirkan walaupun sudah diimbau untuk Shalat Ied di rumah, bisa jadi masih ada yang menyelenggarakannya. Diharapkan bagi para pendatang di daerah tersebut untuk tidak ikut karena bisa menyebarkan wabah [COVID-19] di wilayah itu."

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement