Selasa 19 May 2020 06:37 WIB
Kitab kuning

Al-Lam’ah al-Nûrâniyya: Kitab Ulama Garut yang Hilang

Kitab Asal Garut yang Hilang

Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.

REPUBLIKA.CO.ID, A Ginanjar Sya'ban, Peneliti Naskah-Naskah Islam, Dosen Pascasarjana UNUSA

Berikut ini adalah kitab berjudul “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” yang merupakan karya ulama Sunda (Jawa Barat) asal Garut, yaitu Syaikh Musthafâ b. ‘Utsmân al-Qarûthî al-Jâwî (Syaikh Musthafa Garut).

“al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” ditulis dalam bahasa Arab dan berisi kajian ilmu tata bahasa Arab (nahwu). Karya ini juga merupakan bentuk syarah (komentar/ penjelasan) atas kitab (matan) karya Syaikh Nawawi Banten (w. 1897 M) yang berjudul “al-Syadzrah al-Jummâniyyah”.

Saya mendapatkan informasi keberadaan kitab ini beberapa hari lalu dari sahabat sekaligus guru saya, al-Allamah Syaikh Dr Lukman Hakim al-Azhari لقمان الحكيم الأزهري, ulama muda asal Sasak (Nusa Tenggara Barat) yang banyak mengarang kitab dalam bahasa Arab dan diterbitkan di Timur Tengah. Foto-foto atas beberapa lembar kitab ini saya dapatkan juga dari al-Fadhil Ustadz Muhammad Afiq Amzar محمد أفيق أمزر, seorang mahasiswa asal Malaysia yang sedang belajar di Universitas Al-Azhar Mesir.

Versi yang saya dapatkan dari kitab ini adalah edisi cetakan Mathba’ah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî Kairo, dengan tahun cetak 1360 H/ 1941 M. Jumlah keseluruhan halaman kitab adalah 16 (enam belas) halaman. Pada halaman sampul muka tertulis demikian:

اللمعة النورانية شرح الشيخ مصطفى بن عثمان الجاوي على الشذرة الجمانية للشيخ محمد نووي الجاوي البنتني رحمهما الله تعالى

                           * * * * *


Jika sosok Syaikh Nawawi Banten sudah demikian masyhur adanya, maka siapakah gerangan sosok Syaikh Musthafa Usman Garut ini?

Hingga saat ini, saya masih belum mendapatkan data dan informasi berlebih terkait sosok satu ini. Saya tidak nememukan sosok bernama “Musthafâ b. ‘Utsmân al-Qarûthî al-Jâwî” ini termuat dalam kitab-kitab kamus biografi Arab. Yang saya dapatkan hanya sebuah petunjuk jika sosok ini berasal dari Garut, Jawa Barat, melihat dari nisbat di belakang namanya.

Petunjuk informasi terkait sosok Syaikh Musthafa Garut lainnya dapat kita telusuri dari karya Syaikh Nawawi Banten yang berjudul “al-‘Iqd al-Tsamîn”. Karya tersebut merupakan syarah atas teks puisi (nazham) karangan Syaikh Musthafâ b. ‘Utsmân al-Qarûthî al-Jâwî (Syaikh Musthafa Garut) yang berjudul “al-Fath al-Mubîn” (berisi kajian fikih madzhab Syafi’i).

Ilyas Sarkis dalam “Mu’jam al-Mathbû’ât al-‘Arabiyyah” (vol. II, hal. 1881), menyebut jika kitab “al-‘Iqd al-Tsamîn” karya Syaikh Nawawi Banten (yang merupakan syarah atas puisi karangan Syaikh Musthafa Garut) itu dicetak di Kairo oleh “al-Mathba’ah al-Wahbiyyah” pada tahun 1300 H/ 1882 M. Tertulis dalam “Mu’jam” Sarkis:

العقد الثمين شرح منظومة الستين مسألة المسماة الفتح المبين – (فقه شافعي) المط الوهبية 1300 هـ

Karl Brockelman dalam “Târîkh al-Adab al-‘Arabî” (vol. 4, hal. 379) menyebut nazham “al-Fath al-Mubîn ‘alâ Muqaddimah al-Sittîn”. Nama Syaikh Musthafa Garut disebut sebagai pengarang nazham dengan “Musthafâ b. ‘Utsmân al-Jâwî al-Qarûthî (al-Qarn al-Râbi’ ‘Asyar/ Ulama Abad XIV Hijri)”.

Tertulis dalam “Târîkh” Brockelman:

مصطفى بن عثمان الجاوي القروطي (القرن الرابع عشر) الفتح المبين على مقدمة الستين

                              * * * * *


Melihat kitab “al-‘Iqd al-Tsamîn” karya Syaikh Nawawi Banten yang merupakan syarah atas nazham “al-Fath al-Mubîn” karya Syaikh Musthafa Garut, juga kitab “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” karya Syaikh Musthafa Garut yang merupakan syarah atas kitab “al-Syadzrah al-Jummâniyyah” karya Syaikh Nawawi Banten, kita bisa menyimpulkan jika kedua sosok ini hidup satu zaman.

Dari dua kitab yang disebut di atas, kita juga bisa berkesimpulan jika antara sosok Syaikh Musthafa Garut dan Syaikh Nawawi Banten ini saling mengenal dan bersahabat dekat. Hal ini terbukti ketika keduanya saling menulis syarah atas karya satu sama lain. Syaikh Nawawi Banten menulis syarah atas karya Syaikh Musthafa Garut, pun di kesempatan yang lain Syaikh Musthafa Garut menulis syarah atas karya Syaikh Nawawi Banten.

Kedekatan hubungan keduanya ini juga dapat kita telusuri dalam muqaddimah kitab “al-Lam’ah al-Nâniyyah” yang ditulis oleh Syaikh Musthafa Garut ini. Beliau mengatakan:

أما بعد. فيقول المفتقر لفتوح الرحمن، الغبي الجاوي مصطفى بن عثمان: هذا شرح لطيف على رسالة الشيخ محمد نووي قدوة الجاويين، ليهتدي به المبتدي الى سبيل المتوسطين. قد أمرني المرة بعد المرة أن أشرحها فامتثلت بالفتوحات الالهية وسميته "اللمعة النورانية في الشذرة الجمانية" وبالله التوفيق

(Ammâ ba’du. Maka berkatalah seorang hamba yang fakir akan pembukaan Allah Yang Maha Rahman, seorang yang bodoh dari Jawi, yaitu Musthafa b. Usman. Ini adalah sebuah syarah [penjelasan] yang sederhana atas sebuah risalah karya Syaikh Muhammad Nawawi [Banten], yaitu seorang pimpinan ulama Jawi. Syarah sederhana ini agar dapat menjadi petunjuk bagi para pemula [mubtadi], guna mereka dapat melangkah ke jenjang berikutnya [mutawassith]. Syaikh Nawawi telah memintaku berkali-kali untuk menulis syarah atas risalah karya beliau tersebut, maka aku pun memenuhi permintaannya seraya berpedoman kepada Pembukaan Rahasian Tuhan. Aku namakan karya syarahku ini dengan “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah fî al-Syadzrah al-Jummâniyyah”. Wabillâhi al-Taufîq)

Merujuk keterangan di atas, kitab “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” ini ditulis semasa Syaikh Nawawi Banten hidup. Artinya, karya ini ditulis sebelum tahun 1897 M, tahun di mana Syaikh Nawawi Banten wafat. Bisa jadi, karya ini ditulis pada tahun 1880-an, tahun di mana kitab “al-‘Iqd al-Tsamîn” (yang merupakan syarah atas nazham “al-Fath al-Mubîn” karya Syaikh Musthafa Garut) dicetak di Kairo.

‘Alâ kulli hâl, sosok Syaikh Musthafa Garut, yang dua buah jejak karyanya ditemukan tercetak di Kairo (yaitu “al-Fath al-Mubîn” [puisi berbahasa Arab tentang fikih madzhab Syafi’i] dan “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” [ilmu tata bahasa Arab atau nahwu]) masih saja menjadi teka-teki.

                       * * * * *


Terkait Syaikh Musthafa Garut yang sedang kita bicarakan ini, selintas saya teringat pada sosok Haji Hasan Mustapa (w. 1930), seorang pujangga-ulama sufi Sunda asal Garut yang menjadi “penghulu besar” Bandung, sekaligus sahabat dekat dan kolabolator C. Snouck Hurgronje (w. 1936).

Hasan Mustapa (Musthafa) berasal dari Garut. Ia lahir pada tahun 1852 M. Ayahnya bernama Usman Sastramanggala (orang tua Syaikh Musthafa Garut yang dibahas di atas juga bernama “Usman” [‘Utsmân]). Mustapa remaja telah menjalani kehidupannya sebagai seorang santri yang belajar dari ulama besar Sunda, Jawa dan Madura.

Hasan Mustapa juga tercatat lama bermukim dan belajar di Makkah selama beberapa tahun lamanya. Di antara guru-guru Hasan Mustapa ketika di Makkah adalah Syaikh ‘Abd al-Hamîd al-Syirwânî (w. 1883), Sayyid Ahmad Zainî Dahlân (w. 1885), Syaikh Abû Bakar Muhammad Syathâ (w. 1890), Syaikh Sa’îd Bâ-Bashil (w. 1912), Syaikh ‘Abdullân al-Zawâwî (w. 1924), Syaikh Sulaimân Hasbullâh al-Makkî (w. 1917) dan lain-lain.

Di Makkah, Hasan Mustapa juga berjumpa dan bersahabat dekat dengan Syaikh Nawawi Banten yang secara usia dan karir tentu saja lebih senior, juga dengan beberapa ulama asal Nusantara lainnya yang mengajar di kota suci itu, seperti Syaikh Junaid Batavia (w. ?), Syaikh Ahmad Pattani (w. 1908), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916), Syaikh Zainuddin Sumbawa, Syaikh Abdul Hamid Kudus (w. 1916), Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920), Syaikh Azhari Palembang (w. 1938) dan lain-lain.

Snouck Hurgronje dalam catatannya tentang masyarakat Nusantara di Makkah yang dikunjungi dan dijumpainnya pada tahun 1885 menyebut nama Hasan Mustapa dan posisinya dalam jaringan intelektual ulama Nusantara-Makkah pada masa itu. Snouck mengatakan jika Hasan Mustapa adalah salah satu ulama asal Priangan (Sunda) yang mengajar di Makkah dan punya pengaruh besar. Snouck juga mengatakan jika Hasan Mustapa pernah menulis beberapa buah buku dalam bahasa Arab dan diterbitkan di Kairo, Mesir. Snouck menulis:

سنتوقف هنيهة مع أهل العلم من صوندا. لقد جلب انتباهنا اليهم عالمان بسبب العدد الكبير من التلاميذ الذين يحيطون بهم. ومعظم الطلاب هم من شباب البريانجان. إن كلا من محمد وحسن مصطفى معروفان باسم منطقتهما قاروت في بريانجان

(Kita akan sejenak bersama para ahli ilmu yang berasal dari Sunda [di Makkah]. Perhatian kami telah tertarik oleh dua orang sosok ulama dari Sunda yang memiliki jumlah murid banyak yang mengelilinginya. Rata-rata para murid dua ulama Sunda itu berasa dari para pemuda Priangan. Kedua ulama Sunda itu adalah Syaikh Muhammad Garut dan Syaikh Hasan Mustapa [Musthafa] Garut yang dikenal dengan nama daerah asal mereka di Priangan, yaitu Garut.

أما حسن مصطفى فهو تلميذ محمد محمد في جزيرة جاوة. ولقد قدم الى مكة منذ أربعة عشر عاما بهدف طلب العلم والأخذ م شيوخ الجاوي في مكة أمثال حسب الله ومصطفى وعبد الله الزواوي وغيرهم. وفي خلال السنوات العشر الماضية كان يقوم بالتدريس. كما أنه قد ألف بعض الكتب التي طبعت في مصر منها كتاب في علم العروض. لقد كان منزل الشيخ يعج بعد صلاة الفجر وبعد الظهيرة بعدد كبير من الجاويين والصونديين الذين يفدون لسماع محاضراته

(Hasan Mustapa adalah murid dari Syaikh Muhammad ketika masih berada di Pulau Jawa dulu. Hasan Mustapa telah datang ke Makkah sejak empat belas tahun silam dengan tujuan untuk belajar ilmu dari para guru di Makkah, semisal Syaikh Hasbullah, Syaikh Musthafa, Syaikh Abdullah al-Zawawi dan lain-lain. Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, Hasan Mustapa telah mengajar di Makkah. Ia juga mengarang beberapa kitab yang dicetak di Mesir, di antaranya adalah kitab dalam bidang ilmu puisi Arab. Rumah Hasan Mustapa senantiasa dipenuhi oleh para pelajar setelah waktu shalat subuh dan setelah waktu shalat zuhur. Para santrinya kebanyakan dari Nusantara, khususnya dari Sunda yang dengan seksama mendengarkan kuliah/ pengajian Hasan Mustapa)

Apa yang dikatakan oleh Snouck juga diamini oleh R.A. Kern, penerjemah beberapa karya Mustapa ke dalam bahasa Belanda. Kern menyebut jika Mustapa sudah menulis beberapa karyanya dalam bidang agama dan puisi Arab dan diterbitkan di Kairo. Pun, Aboe Bakar Djajadiningrat, seorang “menak” Sunda-Pandeglang yang bekerja di Konsul Belanda di Jeddah dan mengenal cukup baik Hasan Mustapa, juga mengatakan bahwa ketika Hasan Mustapa bermukim di Makkah untuk ketiga kalinya sepanjang tahun 1880-1885, ia telah menulis sejumlah karya dalam bahasa Arab.

Sayangnya, baik Snouck, Kern, atau pun Djajadiningrat tidak menyebutkan secara spesifik judul karya Hasan Mustapa yang diterbitkan di Kairo itu (lihat Ajip Rosidi, 2008; Ekadjati dkk, 1995).

Sepulangnya dari Makkah pada tahun 1885, Hasan Mustapa kemudian bekerja sebagai penghulu Aceh, lalu penghulu besar Bandung. Ia juga menjadi kolabolator dan sahabat dekat Snouck Hurgronje selama berada di Hindia Belanda dan dikenal sebagai sosok sastrawan besar Sunda sekaligus ulama tafsir dan tasawuf (tentang kedekatan hubungan antara Mustapa dan Snouck, lihat: Jajang Rohmana, 2018).

Setelah berada di tanah air, Hasan Mustapa juga banyak menulis karya dalam bahasa Sunda, dalam bidang tafsir al-Qur’an, tasawuf, susastra Sunda, hukum adat istiadat Sunda dan lain-lain.

Para pengkaji kesusastraan dan kebudayaan Sunda generasi berikutnya pun merasa “kehilangan jejak” tentang karya-karya Hasan Mustapa yang ditulis dalam bahasa Arab dan diterbitkan di Kairo itu. Ajip Rosidi, seorang maestro budaya Sunda yang menulis biografi dan mengumpulkan karya-karya Hasan Mustapa, misalnya, pernah pergi berkali-kali ke Leiden, Belanda untuk menelusuri jejak karya tokoh itu.

Di Leiden, Ajip Rosidi banyak mendapatkan manuskrip, arsip dan dokumen sejarah terkait Hasan Mustapa. Ajip Rosidi juga pernah pergi ke Kairo, Mesir, untuk menelusuri karya-karya Hasan Mustapa yang, sebagaimana dikatakan Snouck, Djajadiningrat dan Kern, ditulis dalam bahasa Arab dan diterbitkan di kota itu. Namun, usaha Ajip Rosidi ini tidak membuahkan hasil. Ia tidak menemukan karya-karya Hasan Mustapa yang dimaksud.

Pada gilirannya, karya-karya Hasan Mustapa yang ditulis dalam bahasa Arab dan terbit di Kairo ini pun menjadi semacam “korpus yang hilang” dalam sejarah besar literatur dan ingatan kebudayaan masyarakat Sunda.

                                 * * * * *


Jadi, setelah kita merenungi ramuan pelbagai informasi di atas, apakah sosok Syaikh Musthafa (b. Usman) Garut pengarang kitab “al-Lam’ah al-Nûrâniyyah” ini adalah juga sosok Haji Hasan Mustapa (b. Usman Satramanggala) Garut?

Wallahu A’lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement