Sabtu 16 May 2020 06:17 WIB
Makkah

Taqrîb al-Maqshad: Kitab Astronomi Bangsawan Sunda

Kitab astronomi bangsawan Sunda acuan kurikulum di Makkah

Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ginanjar Sya'ban, Peneliti Naskah-Naskah Islam Nusantara. Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta.

Berikut ini adalah kitab “Taqrîb al-Maqshad bi al-‘Amal bi al-Rub’ al-Mujayyab” karya seorang ulama Nusantara asal Sunda (Jawa Barat) yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah, yaitu Syaikh Mukhtâr b. ‘Athârid al-Bûghûrî al-Jâwî (Syaikh Mukhtar Bogor, w. 1930 M).

Kitab “Taqrîb al-Maqshad” berisi kajian bidang ilmu falak (astronomi) yang ditulis dalam bahasa Arab. Dalam karya berjudul “al-Daur al-Tarbawî li Halaqât al-‘Ilm bi al-Masjid al-Harâm fî ‘Ahd al-Malik ‘Abd al-‘Azîz” (Peran Pendidikan Halaqah-Halaqah Pengajian Keilmuan di Masjidil Haram pada Masa Pemerintahan Raja Abdul Aziz), disebutkan jika kitab “Taqrîb al-Maqshad” karya Syakih Mukhtar Bogor menjadi buku acuan (textbook) mata pelajaran astronomi pada institusi pendidikan Islam di Makkah pada paruh pertama abad ke-20 (Syu’aib, 2006: 381).

Dalam kolofon, diinformasikan jika kitab “Taqrîb al-Maqshad” diselesaikan pengarangnya pada hari Kamis, 15 Sya’ban tahun 1308 Hijri (bertepatan dengan 16 Maret 1891). Tertulis pada halaman akhir kitab:

 

قال المؤلف رحمه الله. وقد وقع الفراغ من تسويد هذه العجالة في يوم الخميس الخامس عشر من شعبان المعظم سنة 1308 على يد جامعها الفقير الضعيف المعترف بالتقصير محمد مختار بن عطارد غفر الله له ولوالديه ولمشايخه ولأحبائه آمين

(Berkata sang pengarang, semoga ia dirahmati oleh Allah: telah selesai menyelesaikan penulisan karya ini pada hari Kamis tanggal lima belas Sya’ban al-Mu’azham tahun 1308, oleh seorang yang fakir, yang dhaif, yang mengakui akan dosa-dosanya, yaitu Muhammad Mukhtâr b. ‘Athârid, semoga Allah mengampuninya, juga orang tua dan guru-gurnya dan orang-orang yang dicintainya. Amin).

Kitab “Taqrîb al-Maqshad” tercatat dicetak di beberapa tempat, di antaranya di Makkah oleh al-Mathba’ah al-Mîriyyah al-Kâinah bi Makkah al-Musyarrafah pada tahun 1331 H/1913 M (dalam edisi cetakan kedua), juga di Kairo oleh Maktabah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî masing-masing pada tahun 1347 H (1928 M), 1355 H (1936) dan 1371 H (1951 M). Keseluruhan versi cetakan di atas adalah dalam format cetak huruf (typography/ thaba’ ahruf). Selain itu, saya juga mendapatkan versi cetakan Maktabah Sâlim b. Sa’îd Nabhân (Surabaya) dengan format cetak batu (lithography/ thaba’ hajar) namun tanpa keterangan tahun.

                    * * * * *


Dalam kata pengantarnya, Syaikh Mukhtar Bogor mengatakan bahwa karya yang disusunnya ini bersumber dari kumpulan penjelasan gurunya, yaitu Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî al-Khâlidî (w. 1891 M), dalam majlis pengajian ilmu falak yang diampunya. Menurut Syaikh Mukhtar, penjelasan yang diberikan gurunya itu terkait ilmu astronomi sangat membantu para pelajar untuk lebih mudah memahami materi-materi ilmu astronomi secara lugas dan gamblang. Namun sayangnya, penjelasan yang bersumber dari gurunya itu bersifat oral, tidak terkodifikasi. Syaikh Mukhtar menulis:

أما بعد. فلما قرأنا عند شيخنا العالم العلامة العارف بالله الشيخ سليمان الزهدي النقشبندي الخالدي رحمه الله تعالى رحمة واسعة رسالته الموسومة بمجلة الناظرين في العمل بالربع المجيب وسمعنا تقريراته وفتح الله لنا ببركته ما شاء خفنا أن مر علينا زمان نسيان ذلك لسوء حفظنا فأردنا أن نعيد ذلك هذه الورقات على صورة الرسالة تذكرة لي ولأمثالنا من القاصرين

(Ammâ ba’du. Ketika kami mengaji kepada guru kami, seorang yang alim allamah, yang arif billâh, yaitu Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî al-Khâlidî, semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas, [kami mengaji] atas risalahnya yang berjudul “Majallah al-Nâzhirîn fî al-‘Amal bi al-Rub’ al-Mujayyab”, lalu kami juga mendengar penjelasannya yang lugas, yang mana dengannya Allah membukakan pemahaman kami [akan ilmu falak], maka kami pun merasa khawatir kalau pemahaman tersebut akan hilang beriring putaran zaman dan hilang dikarenakan lemahnya ingatan kami, maka kami pun bergegas untuk mengabadikan ingatan pemahaman tersebut dalam lembaran-lembaran kitab dalam bentuk sebuah risalah kecil, guna menjadi pengingat untukku dan juga untuk orang-orang yang bodoh sepertiku)

Penyebutan nama Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî oleh Syaikh Mukhtar Bogor dalam konteks kajian ilmu astronomi menjadi suatu hal yang menarik. Pasalnya, sosok Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî (dikenal juga dengan Syaikh Jabal Abu Qubays) lebih banyak dirujuk dalam otoritas dan kapasitasnya sebagai seorang ulama sufi dan mursyid tarekat Naqsyabandiah-Khalidiah.

Martin van Bruinessen dalam “Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis” (1994) menyebut Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah persebaran tarekat Naqsyabandiah-Khalidiah di Nusantara pada abad ke-19 M. Sosok Syaikh Sulaimân al-Zuhdî juga disinggung oleh Snouck Hurgronje (1999: 497) sebagai salah satu ulama sufi terkemuka di Makkah yang berkedudukan di Jabal Abu Qubays dan memiliki banyak murid dari Jawi (Nusantara).

Murid-murid dari Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî di Nusantara banyak yang menjadi ulama tarekat besar, seperti Syaikh Abdul Wahhab Rokan (w. 1926), Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo (w. 1931), Syaikh R. Muhammad Isa Cianjur (w. 1919), Syaikh Abdul Ghani Kampar (w. 1961) dan lain-lain.

Kita belum mengetahui lebih jauh tentang kemungkinan Syaikh Mukhtar Bogor juga menjadi khalifah tarekat Naqsyabandiah-Khalidiah dari Syaikh Sulaimân al-Zuhdî al-Naqsyabandî. Tetapi yang jelas, melalui kitab “Taqrîb al-Maqshad”, kita mendapatkan informasi yang terang benderang jika Syaikh Mukhtar Bogor adalah salah satu murid Syaikh Sulaimân al-Zuhdî dalam bidang ilmu astronomi.

Syaikh Mukhtar Bogor juga yang menulis rangkuman dan mendokumentasikan penjelasan gurunya itu saat mengajar ilmu astronomi. Hasil rangkuman itu kemudian disunting menjadi sebuah karya kecil berjudul “Taqrîb al-Maqshad” yang kita bicarakan ini.

                               * * * * *


Beberapa sumber hagiografi berbahasa Arab memuat sosok Syaikh Mukhtar Bogor ini. Dalam sumber-sumber tersebut disebutkan jika Syaikh Mukhtar Bogor adalah salah seorang guru besar yang mengajar di Masjidil Haram di Makkah pada peralihan abad ke-19 M dan 20 M. Syaikh Mukhtar mengampu beberapa mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman sekaligus menulis banyak karya.

Selain mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Mukhtar juga membuka kelas kuliah umum di rumah pribadinya yang terletak di Jabal Abu Qubays di Makkah. Kelas tersebut senantiasa dihadiri oleh ratusan murid. Di antara sumber-sumber tersebut adalah “Natsr al-Jawâhir wa al-Durar” karya Yûsuf al-Mar’asylî (h. 1475), “Siyar wa Tarâjim” karya ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr (h. 272) dan “Tasynîf al-Asmâ’” karya Mamdûh Sa’îd al-Mishrî (j. II, h. 532).

Jejak Syaikh Mukhtar Bogor juga terlacak dalam beberapa dokumen pemerintahan kolonial Belanda yang berasal dari kantor konsulat Belanda di Jeddah. Di antaranya adalah dokumen bertahun 1910, di mana Syaikh Mukhtar Bogor disebut sebagai salah satu dari sekian belas ulama asal Nusantara yang secara resmi mengajar di Masjidil Haram dan mendapatkan gaji bulanan dengan surat penetapan dari otoritas pemerintah Turki-Ottoman (lihat: Laffan, 2003: 174-5).

Selain sumber Arab dan Belanda, sumber-sumber dari Nusantara juga banyak menyinggung keberadaan sosok Syaikh Mukhtar Bogor sebagai ulama besar asal Sunda yang mengajar di Masjidil Haram. Di antara sumber tersebut adalah buku memoar perjalanan haji Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah (1924) dan memoar Hamka (1927). Syaikh Mukhtar disebut sebagai “seorang ulama dari keluarga bangsawan Cianjur” yang telah lama bermukim dan mengajar di Makkah.

Sementara itu, dalam buku “Lenyepaneun: Kumpulan Piwejang R.H. Mh. Nuh Nalika Masih Keneh Jumeneng” (1983) yang menghimpun rangkuman ceramah-ceramah keagamaan KH. R. Muhammad Nuh (w. 1966), seorang ulama besar Sunda dari Cianjur yang juga murid dari Syaikh Mukhtar Bogor, disebutkan identitas Syaikh Mukhtar sebagai “Juragan Guru Muchtar, anu ramana ti Bogor, ari ibuna teureuh Cianjur, masih keneh wargi R.H. Muh. Nuh” (Tuan Guru Mukhtar, yang ayahnya berasal dari Bogor, dan ibunya dari trah [bangsawan] Cianjur, yang masih terhitung sebagai saudara dari R.H. Muhammad Nuh).

Syaikh Mukhtar Bogor juga terhitung produktif menulis. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab, Melayu-Jawi dan Sunda-Pegon. Dalam tiga buah karyanya yang berbahasa Sunda-Pegon, Syaikh Mukhtar Bogor mengidentifikasi menak-kebangsawanannya dengan menyebut dirinya “Raden Mukhtar b. Raden Natanagara Bogor”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement