Jumat 08 May 2020 18:33 WIB

Tafsir Alquran Pertama di Indonesia dan Corak Penulisannya

Perkembangan tafsir Alquran di Indonesia cukup dinamis.

Perkembangan tafsir Alquran di Indonesia cukup dinamis. Ilustrasi Alquran
Foto: pxhere
Perkembangan tafsir Alquran di Indonesia cukup dinamis. Ilustrasi Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, Tafsir terus berkembang di tanah Arab dan wilayah kekuasaan Islam. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Meski jarak Indonesia amat jauh dari Tanah Suci, ilmu tafsir telah dikenal masyarakat Muslim nusantara sejak abad ke-17 Masehi. Hanya saja, perkembangannya amat lamban, hingga baru pesat berkembang di abad ke-20.

Kiki Muhammad Hakiki dari IAIN Raden Intan Banten dalam artikelnya "Peta Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia Sebelum Abad ke-20" dalam buku kumpulan artikel terbitan Litbang Kemenag Alquran di Era Global; antara Teks dan Realitas menuturkan, tafsir Alquran sebelum abad ke-20 masih terbilang langka, hanya beberapa saja yang ditemukan.

Baca Juga

Hal ini sangat berbeda dengan era setelah abad ke-20 di mana perkembangan tafsir Alquran di Indonesia amat pesat. Pasalnya, di era sebelum abad 20, tafsir tak mendapat perhatian khusus dan justru menjadi materi pelajaran yang tinggi dan berat.

Di nusantara, tafsir pertama Alquran yang secara utuh membahas satu mushaf dimulai oleh seorang ulama Aceh Abdur Ra'uf bin Ali Al Jawi Al Fansuri As Singkili atau yang lebih dikenal dengan Abdur Ra'uf As Singkel. Dia menghasilkan karya tafsir bertajuk Tarjuman Al Mustafid yang terbit pada abad ke-17. Inilah karya tafsir lengkap pertama dalam bahasa (Arab) Melayu yang sampai saat ini masih dapat dijumpai keberadaannya.

Buku ini terakhir kali terbit pada 1984 di Jakarta. Tak hanya itu, tafsir tersebut juga sangat dikenal di kalangan Muslim mancanegara. Karya tersebut dicetak dan diterbitkan di Istanbul Turki pada 1884, kemudian dicetak berkali-kali di Singapura, Penang Malaysia, Bombay India, Afrika Selatan, serta kawasan Timur Tengah, seperti Kairo dan Makkah.

Setelah era tafsir Tarjuman Al Mustafid, menurut Hakiki, dunia penafsiran Alquran di Indonesia mengalami kevakuman hampir tiga abad lamanya. Baru setelah itu, aktivitas kajian Alquran, penerjemahan, dan penafsiran mulai muncul kembali pada awal abad 19. Era itu diawali dengan muncunya satu naskah parafrase Alquran berbahasa Makassar tanpa menyertakan teks Arabnya. Naskah ini merupakan terjemahan Alquran yang agak bebas.

Sejak tafsir Makassar tersebut, muncul sejumlah karya tafsir sederhana berbahasa Jawa. Salah satu contohnya, Kitab Alquran: Tetedhakanipun ing Tembung Arab Kajawekaken setebal 462 halanan yang ditulis dengan huruf pegon dicetak oleh Lange&Co Batavia pada 1858. Pegon, yakni bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab.

Baru kemudian, pada paruh abad ke-19 muncul seorang ulama ternama kelahiran Banten Syekh Nawawi Al Bantani yang menulis tafsir dengan judul Tafsir Marah Labid atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Munir. Terdiri atas dua jilid, Syekh Nawawi menulis kitab tafsir itu atas permintaan beberapa murid dan teman dekatnya yang menghendakinya menulis sebuah kitab tafsir.

Syekh pun berpikir setiap zaman memerlukan pembaruan dalam ilmu. Itulah mengapa ia hanya melakukan cara baru dalam menyampaikan ilmu dan tidak menambah apa pun kepadanya. Dengan begitu, lahirlah sebuah tafsir yang dinamainya Marah Labid li Kasyf Ma'na Alquran Al Majid.

Memasuki abad ke-20, lanjut Hakiki, dunia penafsiran di nusantara mulai ramai dan berkembang. Tafsir yang muncul setelah periode itu amat banyak, di antaranya, Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir Al Furqan karya A Hasan, Tafsir Al Azhar karya Hamka, Tafsir Al Bayan dan Tafsir An Nur karya Hasby Ash Shidieqy, Alquran dan Tafsirnya yang diterbitkan Departemen Agama RI, Tafsir Al Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab, dan masih banyak lagi.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement