Kamis 07 May 2020 02:23 WIB

Menyemai Toleransi di Masa Pandemi

Dasar-dasar toleransi yang digaungkan Alqur’an ini sungguh rasional.

Ramadhan
Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany

 

 Alhamdulillah, sujud penuh syukur Allah masih memberikan ni’mat sehat di bulan suci Ramadhan 1441 yang terasa istimewa ini. Istimewa bukan hanya karena hadirnya pandemi,  istimewa karena di bulan suci ini, menjadi momentum terbaik untuk menyemai toleransi. Umat Islam tengah khusyu’ dengan puasanya, sementara umat non-muslim, tetap menjaga dan menghormati kesucian bulan ini, demikian indahnya hidup ini!

Berdiskusi mengenai toleransi, kira-kira, apa yang ada di benak teman-teman? Menghargai ibadah umat lain? Menghormati apa yang diyakini orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Atau mengikuti kepercayaan/praktik agama lain?

Sebelum beranjak kepada makna toleransi, maka ada baiknya kita pahami dulu mengapa toleransi ini sedemikian penting dan dipahami dengan benar. Bukan karena hanya bertujuan menciptakan keharmonisan antar umat beragama, namun juga ada hal penting yang sangat vital sebagai perwujudan sunnatullah/ ketentuan yang dikehendaki Allah.

Apakah itu? Perbedaan! Ya, karena perbedaan itulah, Allah menghendaki setiap umat beragama (khususnya umat Islam) memiliki perasaan mau menerima segala perbedaan. Baik berbeda secara fisik (warna kulit, bahasa, postur tubuh, perbedaan suku, dan lain sebagainya). Maupun perbedaan intrisik yakni perbedaan yang sifatnya abstrak namun sangat penting, dalam hal ini perbedaan pandangan atau ideologi atau keyakinan termasuk agama.

Menyoal perbedaan fisik maupun intrinsik ini, Alqur’an menyebutkan beberapa ayat terkait hakikat perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan fisik misalnya dalam ayat, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui,” (Qs. ar-Rum 30: 22), atau dalam surah al-Hujurat 49: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kedua ayat di atas memberikan isyarat penting pertama, Allah menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai bukti bahwa Dia Maha Kuasa menjadikan perbedaan itu. Kedua, dalam surah al-Hujura>t/49: 13 Allah Yang Maha Menghendaki perbedaan itu ingin seluruh manusia yang tercipta dari banyak bangsa dan suku agar mau dan saling mengenal (li ta’a>rafu>). Melalui tujuan perbedaan inilah manusia sebenarnya harus menyadari secara penuh bahwa perbedaan itu tercipta berkat sifat rahmah-Nya (kasih sayang) agar manusia belajar dari perbedaan dan mau melengkapi satu sama lain—sebab dasarnya, tiada satu manusiapun yang sempurna, kita saling membutuhkan satu dengan lainnya.

Nah, setelah mengetahui hakikat perbedaan yang dikehendaki Allah inilah kesediaan dan mau bertoleransi atas perbedaan agama atau keyakinan menjadi hal yang sangat dianjurkan al-Qur’an. Mengawali makna kata toleransi, kata ini sebenarnya memiliki padanannya dalam bahasa Arab. Toleransi dalam bahasa Arab berasal dari kata tasa>muh (akar katanya samaha) yang berarti perasaan mau menerima apa yang diyakini orang lain, baik menyangkut pendapat, pandangan maupun kepercayaan. Namun demikian, kata ini tidak kita temukan di dalam satu surah pun dalam al-Qur’an. Kendati tidak ditemukan, ada beberapa ayat yang berkenaan/ berkaitan dengan isyarat toleransi, misalnya Qs. al-An’a>m/6: 35, Qs. Yunus 10: 99, Qs. Zukhruf 43: 33, Qs. ar-Ra’du/ 13: 31, Qs. at-Tagha>bu>n/ 64: 2 dan Qs. al-Ma>idah/ 5: 48, termasuk an-Nahl/16: 93.

Beberapa surah tersebut menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki keseragaman/ satu umat. Allah justeru memberikan alternatif seluas-luasnya, agar manusia bisa memilih ingin beriman atau kafir, bahkan—pemaksaan atas nama agama tidak diperbolehkan. Hal ini terjadi karena Allah telah memberikan modal terbesar dalam hidup seluruh manusia yaitu akal pikiran yang tidak Dia berikan kepada makhluk selain manusia, agar mereka bisa memilih dengan hati dan pikiran jalan mana yang akan ia pilih, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. an-Nahl/16: 93).

Selain beberapa ayat di atas, satu ayat yang paling eksplisit disebut sebagai dasar pondasi umat Islam dalam toleransi keyakinan (agama), ialah, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”  (Qs. al-An’a>m/6: 108).

Kata tasubbu (memaki) dalam lafadz di atas, berasal dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar maupun belum tentu benar. Sebab turunnya ayat tersebut di atas ialah untuk memberikan pengajaran pada Rasulullah, para sahabat dan semua umat Islam untuk  menahan diri sekaligus larangan agar tidak memaki kepercayaan/ sesembahan kaum musyrikin karena makian terhadap mereka tidak menghasilkan kemaslahatan apapun dalam agama. Makian dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bukan saja kepada si pemaki (karena ia mengotori lisannya untuk memaki sesembahan sesamanya), terlebih juga kepada yang dimaki karena ia akan makin antipati bahkan menjauh.

Selain itu, larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain, menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, merupakan tuntunan agama guna memelihara kesucian agama-agama dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar-umat beragama. Sebab, sudah menjadi fithrah dan tabiat bahwa manusia sangat sensitif dan terpancing emosinya jika agama dan kepercayaannya disinggung—apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya, sebab agama bersemi di dalam hati penganutnya; sementara hati adalah sumber emosi.

Selain fitrahnya manusia tidak senang dengan segala bentuk penghinaan terhadap sesembahan, penganut madzhab Imam Malik misalnya, merespon ayat ini sehingga merumuskan istilah sadd adz-dzari’ah yaitu menampik peluang atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama untuk mencegah segala macam faktor yang dapat menimbulkan kemudharatan, dengan menahan diri untuk tidak menghina sesembahan agama lain.

Dasar-dasar toleransi yang digaungkan Alqur’an ini sungguh rasional. Umat Islam diminta untuk menahan diri bukan hanya untuk kebaikan diri pribadi dan umat sesamanya, namun juga untuk menjaga kesucian Zat Allah. Secara tidak langsung, ketika kita memahami ayat ini sebagai tuntunan, kita berperan besar agar mereka (umat lain) tidak menghina Allah dengan melampaui batas (berlebihan) dan tanpa pengetahuan (tentang Allah). Hal ini ditegaskan oleh lafadz ‘adwan yang berarti permusuhan dan melampaui batas, dan dapat juga diartikan lari atau tegesa-gesa. Isyarat dari makna ‘adwan ialah bahwa setiap pelecehan agama—apapun agama itu—merupakan pelampauan batas serta mengundang permusuhan. Lebih lanjut, makna bi-ghayri ‘ilm (tanpa pengetahuan) memiliki dua arti; yakni kalau yang dicaci adalah agama yang haq, kebodohan si pencaci sangat jelas dan bila yang dicacinya agama yang sesat, ia pun  tidak memiliki pengetahuan yang benar mengenai larangan Allah ini.

Jika kita memahami lebih dalam, maka larangan ayat di atas sebetulnya sejalan dengan firman Allah berikutnya bahwa setiap umat merasa bahwa apa yang mereka lakukan (penghambaan terhadap apa yang ia yakini itu benar. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya menguraikan, hal inilah yang mengakibatkan kaum musyrikin membela kepercayaan mereka yang sesat karena kebodohan dan pelampauan batas. Berikutnya, makna Kami perindah  untuk semua umat amal-amal mereka, terlepas dari apakah perbuatan itu baik atau buruk, apakah iman atau kufur, karena telah berlaku ketentuan Allah menyangkut tabiat manusia bahwa mereka menganggap baik kebiasaan mereka serta mempertahankan tradisi mereka.

Lantas? Apakah dengan Allah menjadikan indah amal-amal (penyembahan suatu kaum selain Allah) adalah sesuatu yang terjadi atas izin-Nya? Quraish Shihab kembali bependapat bahwa apa yang diizinkan terjadi, belum tentu sesuai dengan apa yang Dia ridhai. Dengan demikian, kekufuran dan keimanan tentu terjadi karena izin-Nya, namun, kekufuran sama sekali tidak diridhai-Nya. Dengan demikian, keterlibatan Allah adalah pada hal-hal yang sunnatullah yang berlaku untuk semua manusia antara lain siapa yang tidak membentengi diri dengan iman dan taqwa, dia akan terbawa hawa nafsu dan keburukan dianggapnya indah. Dengan penjelasan ini, sebenarnya kita bisa memahami bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih, bahkan al-Qur’an telah memberikan banyak petunjuk menuju keimanan sejati.

Nah, dalam kesempatan Ramadhan yang bertepatan dengan pandemi ini, menyemai kembali makna toleransi sangat penting. Bukan hanya karena Islam melarang keras menghina sesembahan kaum lain, namun karena toleransi dapat membawa kedamaian hakiki. Kedamaian yang akan terwujud jika seluruh umat secara sadar dan berlapang dada bersama-sama menghargai segala perbedaan yang ada. Perbedaan adalah rahmah, perbedaan seharusnya mampu menyatukan bukan menghancurkan. Wallahu a’lam..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement