Dimensi Kemanusiaan dalam Puasa Ramadhan

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil

Selasa 05 May 2020 16:33 WIB

Dimensi Kemanusiaan dalam Puasa Ramadhan Foto: Pixabay Dimensi Kemanusiaan dalam Puasa Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap ibadah dalam agama Islam selalu mengandung dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Begitu pula dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan mengandung dimensi ketuhanan dan kemanusiaan yang berkaitan dengan sikap solidaritas.

Direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof KH Muchlis M Hanafi menjelaskan, ibadah shalat dimensi ketuhanannya adalah hubungan manusia dengan Allah SWT. Sementara, dimensi kemanusiaan dalam shalat seperti yang disampaikan dalam Alquran.

Baca Juga

"Dalam Alquran disampaikan bahwa shalat yang berkualitas adalah yang mampu mencegah pelakunya (orang yang shalat) dari perbuatan keji dan mungkar," kata Prof KH Muchlis belum lama ini.

Ia menyampaikan, dalam Surah Al Ma'un disampaikan ada orang yang melaksanakan shalat tapi mendapat kecaman dari Allah. Yakni orang yang shalat tapi tidak memberi dan menolong orang lain.

Ibadah-ibadah lainnya termasuk puasa Ramadhan juga memiliki dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Dimensi ketuhanan dalam ibadah puasa seperti yang Allah sampaikan, puasa Ramadhan itu adalah milik Allah dan Allah yang akan memberikan balasannya.

"Tapi dari sisi dimensi kemanusiaan ada hadis yang mengatakan, orang yang tidak meninggalkan perbuatan dan ucapan yang keji, maka Allah tidak butuh puasanya," ujar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama ini.

Prof KH Muchlis juga menyampaikan bahwa di bulan Ramadan diturunkan Alquran. Seperti diketahui Alquran adalah akhlak Rasulullah SAW. Kalau melihat ini ada keterkaitan yang sangat erat antara puasa Ramadhan dengan sikap solidaritas.

Ia menerangkan, ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan hadis ini juga ada dalam Sahih Bukhari. Dalam hadis itu dikatakan, Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling dermawan dan kedermawanannya lebih meningkat di bulan Ramadhan. Yaitu saat Malaikat Jibril menjumpainya di bulan Ramadhan setiap malam.

"Apa yang dilakukan Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad, Malaikat Jibril mengajarkan bacaan Alquran, kemudian mendengar lagi Nabi membacakan Alquran," ujarnya.

Prof KH Muchlis menyampaikan, ketika setiap malam Nabi Muhammad SAW bertemu Malaikat Jibril, Rasulullah menjadi sangat dermawan melebihi angin yang bertiup sangat kencang. Artinya bila Ramadhan ini diisi dengan Alquran, kemudian Alquran menyinari kalbu seorang Muslim. Pasti Muslim itu akan terdorong untuk berbagi, seperti yang terjadi pada Rasulullah di bulan Ramadhan menjadi sangat dermawan.

"Itu adalah kaitan yang erat antara Ramadhan, Alquran dan kedermawanan," ujar Doktor dalam bidang tafsir dan ilmu-ilmu Alquran dari Universitas Al-Azhar di Kairo ini.

Ia menyampaikan, di bulan Ramadan ini pahala amal kebajikan dilipat gandakan. Pahala dari ibadah fardu juga dilipat gandakan hingga 70 kali lipat. Bahkan pahala dari ibadah sunah dinilai seperti pahala ibadah fardu.

Tentu di bulan suci Ramadhan ini seharusnya menjadi motivasi seseorang untuk melakukan amal kebajikan termasuk berinfak dan bersedekah. Selain zakat fitrah yang wajib ditunaikan setiap Muslim yang mampu dan melakukan ibadah puasa. Ada juga zakat mal yang biasanya ditunaikan di bulan Ramadhan karena mengharap pahala yang berlipat ganda.

Prof KH Muchlis menambahkan, puasa melatih diri untuk berempati, karena saat berpuasa bisa membayangkan orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya untuk makan dan minum. "Kita bisa merasakan penderitaan mereka oleh karena itu dengan melatih diri dan dengan berpuasa diharapkan orang bisa memiliki empati kepada mereka yang tidak punya, dan terlebih dalam situasi (pandemi Covid-19) seperti ini," ujarnya.