Senin 04 May 2020 20:05 WIB

Kisah Rasulullah dan Pelanggar Hukum Puasa

Pelanggar hukum puasa ini awalnya menemui Rasulullah dengan wajah muram.

Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu hari kala bulan Ramadhan, Rasulullah Muhammad SAW sedang duduk-duduk bersama dengan para sahabat. Tiba-tiba, seorang laki-laki tampak sedang berjalan ke arah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Dari kejauhan, ia terdengar berteriak-teriak, “Celakalah aku! Celakalah aku!”

“Wahai Rasulullah,” kata pria itu, “sungguh aku telah celaka!”

Baca Juga

“Ada apa, wahai hamba Allah?” tanya Nabi SAW.

“Aku telah menggauli istriku, padahal ini di siang hari bulan Ramadhan ketika diriku dan dia berpuasa,” jawab lelaki itu.

Rasulullah SAW tidak lantas menegur atau memarahinya. Sebab, beliau melihat kesungguhan orang itu dalam bertaubat. Ia menyadari perbuatannya dan ingin lepas dari dosanya lantaran melanggar ketentuan berpuasa Ramadhan.

Maka, Rasulullah SAW membimbingnya agar menunaikan salah satu dari kafarat-kafarat yang ada. “Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak untuk kemudian dimerdekakan?” tanya beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

“Orang sepertiku mana mungkin sanggup membeli atau memiliki seorang budak, ya Rasulullah,” jawab lelaki tersebut.

“Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”

“Wahai Rasulullah, puasa 30 hari Ramadhan saja aku tak sanggup menahan dari menggauli istriku. Bagaimana mungkin dengan dua kali lipatnya dari itu? Sungguh, aku tak bisa,” katanya dengan nada memelas.

Lantas, beliau menyampaikan opsi kafarat terakhir. “Apakah engkau mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?”

Lagi-lagi, lelaki itu menyatakan ketidaksanggupannya. “Wahai Rasulullah, dari mana aku dapat uang untuk memberi makan puluhan orang miskin?” tanya dia dengan sedih.

Akhirnya, Rasulullah SAW terdiam. Itu mengisyaratkan, beliau belum mengambil satu keputusan apa pun atau sedang menunggu turunnya wahyu dari Allah SWT terkait perkara yang sedang dihadapinya.

Tak lama kemudian, seseorang dari kalangan Anshar mendekati beliau. Rasulullah SAW menjawab salamnya dan menerima keperluannya. Rupanya, orang itu datang dengan membawa satu keranjang penuh berisi kurma.

“Wahai Rasulullah, ini aku membawa kurma-kurma untuk kuhadiahkan kepada engkau,” ujarnya.

Nabi SAW menerima pemberian itu dengan senyum dan mendoakan orang Anshar itu. Lalu, beliau kembali memanggil lelaki yang telah batal puasanya tadi.

“Wahai hamba Allah, silakan ambil seluruh kurma ini dan bersedekahlah dengannya sebagai kafarat yang wajib engkau keluarkan karena telah melanggar puasa,” kata beliau.

“Ya Rasulullah, apakah ada orang selainku yang layak mendapatkan kurma-kurma ini? Dari ujung barat hingga timur Kota Madinah ini, tak ada satu pun orang yang lebih fakir dariku. Karenanya, bukankah aku lebih membutuhkan kurma-kurma ini?” kata lelaki itu dengan polosnya.

Mendengar jawabannya, Rasulullah SAW pun tertawa sampai-sampai gigi seri beliau terlihat. Beliau tertawa lantaran merasa takjub dengan keadaan orang ini. Ia awalnya datang tergesa-gesa kepada Nabi SAW dengan wajah muram karena takut akan dosa yang telah dilakukannya. Namun, ia sekarang justru menginginkan pemberian.

Rasulullah SAW bersabda, “Sedekahkanlah kurma-kurma ini kepada keluargamu.”

Lelaki itu pun pulang dengan wajah gembira. Betapa tidak? Bukannya dibebani hukuman, ia justru kembali ke rumah dengan sekeranjang penuh kurma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement