Kaligrafi Ramadhan: Merubah Warna di Bulan Puasa

Red: Muhammad Subarkah

Ahad 03 May 2020 12:57 WIB

KH Didin Siradjudin AR tengah mengajar melukis kaligrafi. Foto: Didin Siradjudin KH Didin Siradjudin AR tengah mengajar melukis kaligrafi.

REPUBLIKA.CO.ID, 0leh: KH Didin Sirojuddin AR, Pengasuh Pesantren Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka)

إنًَ اللًهَ هُوَ الغَنِيًُ الحَميدُ

"Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahakaya, Maha Terpuji." (QS Luqman: 26)

        

                          *****

Ibadah puasa yangg berperan merubah "manusia biasa"  menjadi "manusia mutaqin' memang  luarbiasa" memberi inspirasi untuk merubah warna putihnya kaligrafi   إن الله هو الغني الحميد , menjadi warna-warni. 

Putih artinya suci. Melambangkan kesucian, tapi statis dan datar. Biasa-biasa saja, tanpa dinamika.

Akhirnya, dengan mengcopy  Ramadhan yang dinamis dan kaya nuansa, saya olah kepada warna kuning emas (yang berarti agung, cerah, dan rezeki melimpah), merah (yg berarti berani), hijau (yg berarti subur makmur, harapan), biru (yg berarti anggun,  berwibawa),  dengan prioritas putih untuk selalu konsisten  menjaga kesucian.

Melibatkan warna putih, kata kata kaligrafer kondang Mohyeddin Tolu dalam kitabnya, Allaon 'Ilman wa 'Amalan,  ada positifnya:

دَرجةُ اللَّونِ: Tint هى جعلُ اللّونِ أكثرَ إضاءة پإضافةِ الأبيضِ له

      

"Level warna (tint), yaitu membuat warna lebih bercahaya dengan menambahkan putih kepadanya."

Dalam kitabnya  Color Harmony: A Guide to Creative Color Combination, Hideaki Chijiiwa menyimpulkan bahwa "memilih warna adalah seni" (choosing color is fun). Maka, lukisan yang diubah dari satu warna menjadi warna-warni menunjukkan kesempurnaannya karena, kata Mohyeddin lagi,  telah menjadi tercakup dalam satu unit 'karakter warna' KA  (خواص اللون), yaitu:  الشكل (HUE/jenis-jenis warna),  القيمة  (Value/nilai), dan الكثافة (Intensity/level olah). Walhasil, perubahan ke warna-warna beragam merubah lukisan jadi lebih bagus dan artistik.

Oya, lalu soal puasanya bagaimana?

Ramadhan maknanya  pembakaran. Setelah "dibakar" untuk digembleng, ditempa, dan dilatih, para shoimin seharusnya berubah menjadi "manusia baru" yang lebih kuat menahan hawa nafsu, lebih giat qiyamullail, lebih rajin membaca  Alquran dan selalu siap mengamalkan isinya, dan tambah dermawan.

Tentu, semua pencapaian tsb "harus dengan ilmunya" (فعليه بالعلم), karena puasa juga merupakan "ajang menuntut ilmu". Artinya, puasa tanpa ilmu hanya menghasilkan puasa minimalis, yakni "minimal tidak makan dan minum." Hanya itu. Ini berbahaya dan merugi, karena akan distempel Nabi SAW dengan cap:

رُبَّ صائمٍ: حَظُّه من صِيامِه الجوعُ والعطشُ.

     

"Betapa kerap  orang berpuasa: yang dia dapat dari puasanya hanyalah  lapar dan haus." (HR Thabrani dari Ibnu Umar)

Untuk berubah, dia harus nglakoni puasa maximalis. Artinya, mengisi hari-hari  puasanya dengan kegiatan amal shaleh yang padat, siang-malam secara maksimal. Puasanya dilakoni dengan taktis alias dengan ilmunya, mengikuti tatacara dari Nabi SAW:

من صامَ رمضانَ وعَرَفَ حُدودَه وتَحَفَّظَ مِمَّاكان يَنْبَغى أن يتَحفَّظ منه كُفّر ما قبلَه.

      

"Barangsiapa yg berpuasa di bulan Ramadhan dan mengetahui BATAS ATURANnya serta menjaga apa2 yg seharusnya dijaga, dia akan diampuni segala dosanya yg telah lalu." (HR Ahmad dan Baihaqi dari Abu Said Al-Khudri)

Mustafa Al-Siba'i (dlm Hikmah Al-Shoum wa Falsafatuhu) menyebutkan, bahwa shoimun yang benar akan memperbaiki apa-apa yang telah rusak, memperbaharui yang telah usang, bahkan sanggup mengobati segala sesuatu yang sakit. Karena "kekuatan mereka telah menyatu dengan kekuatan Tuhan," katanya.

Kalau boleh dibuatkan umpama untuk dicontoh,  puasa yg bisa merubah adalah puasa'ulat' bukan puasa 'ular' yang tidak membawa perubahan. Biar "kembali muda",  ular harus puasa yang disusul proses ganti kulit dengan yang baru.

Setelah itu? Tidak ada yang berubah. Namanya tetap ular. Tampang dan bentuknya seperti dulu. Cara jalannya masih sama. Makanannya kayak itu-itu saja. Bahkan, sifat dan kelakuannya tak berubah: bila mematuk bisa bikin kita celaka.

Berbeda nih dengan 'ulat'. Biar "sakti mandraguna" (istilah puasanya:  "menjadi orang bertakwa"), ulat harus puasa 40 hari (kayak hitungan shalat arba'in, hadis arbain, haji 40 hari). Segera saja terjadi perubahan-perubahan  signifikan pada  tubuhnya: terstruktur, sistematis, dan massif.

Di tengah bertapa-nya, nama ulat segera berubah jadi kepompong. Usai puasa, julukannya jadi kupu-kupu. Tampang dan bentuknya kini lebih cantik.  Cara jalannya dulu merayap, sekarang terbang. Pilihan makanannya dari daun pindah ke madu. Sifat dan kelakuannya? Subhanallah.

Dia hobi membantu penyerbukan untuk proses pembuahan paling sempurna pada bunga yg manfaatnya dapat dipetik dan  dirasakan berbagai  kalangan. Duuuuuuuh.... indahnya. Duuuuuuh cantiknya.

Maka bila dituangkan dalam karya, seorang pelulis kaligrafi, lukisan berubah dan warnanya tambah artistik. Layaknya, ulat berubah jadi kupu-kupu semakin cantik. Dengan puasa,  mukmin jadi orang bertakwa. Benar-benar asyiiiiiiiiik. Sungguh asyik.

• Didin Sirojuddin AR: DIA YANG MAHAKAYA (50 x 120 cm, acrylic on canvas, 2019)