Sabtu 02 May 2020 09:37 WIB
Taliban

Masjid Badshahi dan Berburu Taliban di Lahore

Berburu Taiban di Lahore

Masjid Badshahi, Lahore Pakistan.
Foto: Muhammad SUbarkah
Masjid Badshahi, Lahore Pakistan.

REPUBLIKA.CO.ID, Udara pagi kota tua Lahore,Pakistan, masih terasa jekut suam-suam kuku. Musim semi baru menapaki ujung. Tapi warga sudah mulai sibuk lalu-lalang. Di jalanan keledai yang menarik pedati hingga bemo dan sepeda motor sudah mulai berebut jalan.

“Kita mesti ke masjid merah atau Masjid Badshahi. Nanti setelah siang baru ke Taman Shalimar,’’ kata temanku Hasif, sembari duduk minum teh di beranda hotel ‘Kubilai Khan’. Dia ku kenal saat di Jogja. Dia asalnya dari Lamongan dan kini menjadi staf kedubes Indonesia di sana.

‘’Apa lebih baik kita cari Taliban saja?’’ kataku meledeknya. Mendengar itu dia pun tertawa lepas. Lalu dia menukas pendek.’’Di sini semua anak kecil itu Taliban. Kalau di Jawa itu sama saja dengan Santri. Taliban itu artinya pelajar tak beda dengan santri. Kalau kita ke masjid itu akan lihat buktinya,’’ tegas Hasif.

Aku pun tersenyum saja melihat emosi dari Hasif yang datar ketika mendengar kata Taliban disebut. Beda dengan banyak orang yang selalu gelisah ketika disebut kata Taliban, Hasif malah cuek saja. Dia malah sibuk berkelakar.

‘Ayolah kita pergi ke masjid merah atau Badsahi itu. Kereeeen. Nanti di tengah jalan aku tunjukin di mana dahulu apartemen yang menjadi tempat hunian Hambali ketika tinggal di sini,’’ kata dengan nada ringan.

Kami bersiap berangkat. Namun tiba-tiba di dekat kami masuk tiga orang bercambang dan berbaju khas Pakistan. Dia saat itu riuh berbicara dengan bahasa Urdu. Kami pun terdiam sembari mengingat begitu banyak kata yang akrab ditelinga yang terdengar di percakapan riuh itu, seperi kata ‘Aca, baba, nehi, putra, dan lainnya. Dan tanpa dinyana tiba-tiba mereka menyapa kami.

‘’Hai man, Where are you from? Kuala Lumpur?.’’ tanyanya

‘’No, Indonesia,’’ tukasku.

“Hah Jakarta? Ya ya ya. Merdeka ha ha ha’’ jawabnya.Entah mengapa kata ‘Merdeka’ diucapannya.

Tapi kemudian dia berkata bila kata Merdeka itu sama saja dengan bahasa Sansekerta: Mahardika.

‘’Ya saya beberapa kali ke Jakarta. Ke Pelabuhan Ratu, Parang Tritis, Hngga pulau Alor?” dia berkata dengan lancar menyebutkan tempat-tempat itu dengan cara sangat akrab.

“Untuk apa? tanyaku lagi.

“Mengantar orang ke Australia, naik perahu,’’ jawabnya enteng.

Begitu mendengar jawaban itu saya langsung ingat kepada sahabatku mantan aktivis ITB yang jadi fotogarfer profesiobal, Ahmad Deni Salam. Dia yang kini selama 'lockdown; ngumpet di Apartemen Kalibata, selama ini selalu punya obsesi membuat dokumentasi dengan ikut perahu bersama-sama para imigran gelap Asia yang akan ke Australia. Maklum fotografer klas internasional.

Kabarnya Deni sudah lama mengincar momen mereka. Dia pun sudah mengikuti rute kedatangan para mgran yang akan ke Australia. Informasinya, mereka kadang ke Australia dengan menumpang kapal kayu dari Pelabuhan Ratu di Jawa Barat, kawasan sekitar Parang Tritis Yogyakarta, kepulauan Alor di Nusa Tenggara Timur.

Kata Deni,''Pokoknya tempat atau pantai terbuka yang menghadap ke Australia." Namun, sapai sampai sekarang apakah obessii ini terwujud atau tidak, tidak dekatahu persis. Bahan tidak ada kabar apakah hal itu sudah dilakukan atau belum, pun tak jelas. Yang jelas dalam sebuah obrolan ringan Deni sendiri setelah itu tinggal di cukup lama di Australia.

BADSHAHI MOSQUE - Pakistan Today

Namun, yang penting lagi, kembali ke obrolan bersama orang Pakistan di pagi itu, ucapan mereka memang terasa anah. Apa pasal? Omongan mereka sama persis dengan obrolan sebelum shalat Shubuh di Masjidil Haram dengan seorang jamaah umrah dari Pakistan. Kala itu ada seorang Pakistan yang bercerita pernah ke Australia bahwa suadaranya pernah menumpang perahu dari pelabuhan ratu, Sukabumi untuk pergi ke Australia.


‘’Dari Pelabuhan Ratu kami menuju ke kepulauan Alor di perbatasan NTT dan Australia. Dari sana kemudian baru masuk ke perairan Australia. Lalu mendarat di Darwin,'' tutur jamaah umrah Pakistan itu.

Maka, mengingat semua itu saya hanya diam tercenung dan memandang nanar kepada orang yang mengajak ngobrol kala sarapan pagi di kafe hotel.Terasa aneh memang ada seseorang yang begitu terkesan cepat akrab kepada orang asing. Hati pun mulai bertanya-tanya mengenai siapa sebenarnua orang tersebut.

Namun di tengah perasaan yang mulai rawan, mendadak badan ini tersentak dengan tarikan tangan Hafiz yang mengajakpergi.

‘’Sudahlah kita pergi ke ‘Masjid Merah’ itu yuk.. Mumpung hari belum terlalu siang,'' ajaknya.

Aku menjawabnya hanya dengan menangguk dan kemudian berjalan pergi. Membiarkan ketiga orang itu lokal Pakistan yang mencoba mengajaku berbasa-basi berbincang sejenak. Kami berdua pun beranjak pergi.

Setelah sampai di luar hotel, matahari memang mulai meninggi. Meski begitu sinarnya belum terlalu menyengat. Hanya suara ribut burung bul-bul dan elang yang berkoak-koak di udara dan berlompatan di antara ranting rimbuan pohon taman kota.

‘’Ya kita ke sana. Mudah-mudahan ada Taliban,’’ tukasku kepada Hafiz. Dia menjawabnya sambil tersenyum seraya masuk ke mobil pajero hitam yang sudah menungu kami.

Sampeyan ngerti uwong mau,’’ Hafiz mencoba mengajaku bicara pakai bahasa Jawa. Aku jawab dengan menggeleng.

‘’Dia intel Pakistan tahu,’’ katanya pendek. Aku pun tercekat sejenak. Dan di situ aku baru sadar betapa hebat insting Hafiz yang seorang diplomat. Meski hanya bertemu sekilas, dia bisa menyimpulkan siapa orang yang di mengajaku berbincang.

‘’Kamu sadar ngak di awasi di sini. Kami juga dianggap Taliban ha ha ha. Paling tidak kamu dianggap Taliban dari Jawa..!,’’ sambung Hafiz.

Mendengar ledekan itu aku hanya garuk-garuk kepala.

‘’Ya Taliban, I am coming...!”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement