Jumat 24 Apr 2020 17:27 WIB
Pandemi

Ibnu Khaldun, Pandemi, dan Tata Dunia Baru

Pandemi dan Tata Dunia Baru

Belajar filsafat dan sosiologi bersama Ibnu Khaldun.
Foto: wikipedia
Belajar filsafat dan sosiologi bersama Ibnu Khaldun.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

“Peradaban, baik di barat maupun di timur disambangi wabah mematikan. Menghancurkan bangsa-bangsa dan memangkas populasinya. Melahap dan menyapu bersih banyak kemewahan peradaban. Wabah itu menggulingkan kerajaan di penghujung umur, saat mereka mencapai batas tenggat mereka. Mengurangi daya dan membatasi pengaruh. Melemahkan kewenangan sementara situasi bangsa-bangsa itu mendekati titik kemusnahan dan tercerai-berai.”

Kutipan itu bukan dari buku maupun artikel yang terbit baru-baru ini. Ia paragraf dari buku tua sekali yang terbit pada paruh akhir abad ke-14 atau sekitar 600 tahun lalu. Yang menulisnya, Abdurrahman Ibn Khaldun.

Dalam satu hal, ada trauma dalam petikan paragraf dari karya agung berjudul Muqaddimah tersebut. Ibn Khaldun, kehilangan banyak dalam wabah bubonik alias pes yang menyapu wilayah Afrika Utara pada 1348-1349. Syaikh alias guru-gurunya tak sedikit yang meninggal akibat wabah, terlebih lagi kedua orang tuanya juga berpulang. Ibn Khaldun mengamati wabah tersebut menyapu banyak sekali kota-kota di Maghribi. Mencabut kekuasaan suku-suku dan menggeser perimbangan zaman itu.

Menurut Ibn Khaldun, tak seperti para pemikir pendahulunya, wabah bukan muncul begitu saja dengan alasan kemarahan Ilahiah. Dalam Muqaddimah, Ia mengamati, wabah adalah konsekuensi yang hampir tak terelakkan dari peradaban. “Seperti suara-suara keberadaan di dunia telah meminta kehancurannya sendiri. Dunia kemudian memenuhi panggilan tersebut. Dan sesungguhnya Allah mewariskan bumi dan siapa juga di dalamnya,” tulisnya secara puitis.

Jalur pikirnya begini. Sebuah kerajaan/negara berdiri, kemudian menetapkan ibu kota. Seiring kejayaan dan kesejahteraan kerajaan atau bangsa tersebut, sejalan pula meningkatnya populasi. Peningkatan populasi tersebut akhirnya membuat sesak kota-kota utama.

Kian sesaknya kota-kota tersebut kemudian membuat udara tercemar. Makin banyaknya bangunan yang terkonsentrasi di wilayah tertentu membuat sirkulasi udara tak lancar.  Udara tersebut kemudian jadi medium pembawa penyakit dari berbagai hewan. Semakin kuat penyakit yang dibawa hewan-hewan, semakin berbahaya.

“Hasilnya dalah epidemi, terutama yang berdampak pada paru-paru,” tulis Ibn Khaldun. “Inilah mengapa wabah lebih kerap muncul di wilayah padat penduduk seperti Kairo di timur dan Fez di barat,” ia menambahkan.

Nah, Ibn Khaldun juga memandang kekuasaan kerajaan dan bangsa-bangsa semacam entitas yang punya siklus kejayaan dan kejatuhan. Dalam cara pandang itu, Ibn Khaldun menilai wabah adalah satu jalan pintas merombak tata dunia yang dideranya.

Secara optimistis, ia menilai dari kehancuran yang diakibatkan wabah terhadap kekuatan-kekuatan di dunia akan memunculkan dunia yang baru, tata dunia yang baru. “Saat terjadi pergantian kondisi secara umum, seperti seluruh ciptaan ikut berubah dan dunia dibentuk ulang seperti baru. Sebuah dunia baru akan mewujud,” tulis Ibn Khaldun.

Pertanyaannya kemudian, tata dunia baru seperti apa yang akan dimunculkan pandemi Covid-19 saat ini?

Saat ini, setidaknya dua negara adidaya terdampak pandemi itu, Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. Namun dengan berbagai parameter, AS jauh lebih parah terkena itu penyakit dan efek samping yang ia munculkan.

Sejauh ini, pada Jumat (24/4), 886 ribu orang tertular dan 50 ribu orang meninggal di AS. Jumlah ini jauh lebih banyak dari negara manapun di dunia. Jumlah yang tertular di AS, misalnya, empat kali lipat jumlah kasus di Spanyol (213 ribu) yang berada di urutan kedua penularan terbanyak. Sedangkan jumlah kematiannya dua kali lipat Italia (25 ribu) yang menyusul di peringkat kematian.

Sementara Cina, meski laporan resmi negara diragukan, mencatatkan 82 ribu kasus dan 4.600 kematian.

Itu baru dampak kesehatannya. Sempat mengklaim sebagai negara paling makmur, hingga Jumat tercatat 26 juta pengangguran baru di AS sebagai dampak ekonomi Covid-19. Sebanyak 16 juta orang hidup bergantung dari bantuan pemerintah. Muncul foto-foto menyedihkan antrean panjang mobil-mobil di AS menanti jatah makanan harian. Stimulus yang dialokasikan pemerintah untuk usaha kecil ludes seketika menyusul jumlah usaha yang nyaris gulung tikar terus melonjak.

Pandemi menguliti ketimpangan ekonomi antarras yang ternyata sebegitu mematikan di AS. Sejauh ini, warga kulit hitam AS masih terus menjadi korban paling banyak kematian akibat Covid-19 meski status mereka sebenarnya minoritas dalam total jumlah penduduk. Sistem ekonomi kapitalistik yang kaku membuat fasilitas kesehatan hanya bisa diakses yang punya duit, membuat penyediaan jaring pengaman sosial tertatih-tatih.

Demokrasi liberal bipartisan berubah menjadi polarisasi yang tajam dan akhirnya ketakpercayaan akut pada pemerintah di masa pandemi. Hanya di AS, ada warga berunjuk rasa di berbagai daerah meminta kebijakan pembatasan sosial dicabut. Memprotes kebijakan yang diterapkan untuk keselamatan mereka sendiri.

The New York Times (NYT) melansir, pandemi kali ini adalah krisis global pertama dalam seratus tahun terakhir dimana “tak ada satupun yang menengok ke Washington sebagai pemimpin”. Segala sistem yang dijalankan AS secara mapan ternyata rapuh di masa pandemi.

“Sistem sosialis demokratik Eropa ternyata tak hanya lebih manusiawi. Mereka lebih siap menghadapai krisis seperti ini ketimbang sistem kapitalis brutal di AS,” kata Dominique Moïsi, pakar politik Institut Montaigne di Paris dilansir NYT.

“Bagi para sejarawan, ini bukan barang baru. Ini adalah cerita yang sangat familier di sejarah dunia bahwa setelah jangka waktu tertentu kekuasaan akan merosot,” kata Timotny Garton Ash, profesor di Pusat Studi Eropa Universits Oxford terkait kondisi kejayaan AS menjelang jatuh.

Menurutnya, akumulasi kekuasaan dan kekayaan yang selama ini dikumpulkan AS bisa menutupi hal-hal disfungsional dalam masyarakat. Namun saat ada gangguan besar semacam saat ini, hal tersebut tak bisa lagi. Selubung telah terbuka. Saat nanti wabah mereda, seperti yang diramalkan Ibn Khaldun, dunia tak akan lagi seperti dahulu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement