Kamis 23 Apr 2020 10:07 WIB

Pakar: Masyarakat Membutuhkan Rasa Percaya kepada Pemerintah

Pemerintah cenderung sangat berhati-hati dalam menyampaikan data.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Agus Yulianto
Pendiri dan Analis Drone Emprit Akademik, Ismail Fahmi, dalam diskusi.
Foto: Republika/Dian Erika N
Pendiri dan Analis Drone Emprit Akademik, Ismail Fahmi, dalam diskusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar media sosial, yang juga pembuat mesin pengais medsos Drone Emprit, Ismail Fahmi membaca pola masyarakat atas respons kebijakan pemerintah terkait Covid-19. Menurut dia, respons emosi masyarakat yang paling dominan adalah trust atau kepercayaan.

Ismail menjelaskan, berdasarkan ekspresi masyarakat dalam merespons kebijakan setidaknya terdapat lima bentuk emosi. Pertama yang paling banyak terbaca adalah kepercayaan, kemudian disusul oleh rasa kaget, rasa mengantisipasi, rasa takut, dan rasa marah.

Sejak awal kemunculan kasus positif Covid-19 di Indonesia, kata dia, pemerintah cenderung sangat berhati-hati dalam menyampaikan data. Presiden Joko Widodo juga menilai apabila pemerintah terlalu banyak menyampaikan informasi, maka dikhawatirkan masyarakat akan panik.

Padahal, menurut Ismail, rasa takut dan panik bukanlah emosi dominan yang muncul di sosial media. "Dulu dibilang bisa bikin panik. Ini asumsi kan. Tanggal 14 Maret, saya melalui twitter bertanya apakah benar kalau dibuka publik takut? Ternyata yang paling tinggi adalah trust," kata Ismail, dalam diskusi daring bersama KedaiKopi, Rabu (22/4).

Terkait hal ini, Ismail mengatakan, pemerintah tidak perlu khawatir menyampaikan data secara terbuka. Sebab, saat ini sebagian besar masyarakat lebih membutuhkan rasa percaya kepada pemerintah daripada asumsi dibuka data menyebabkan kepanikan.

Selain itu, dia juga menjelaskan, di sosial media masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat yang mendukung pemerintah termasuk akun buzzer, kemudian media yang berada di tengah masyarakat dan pemerintah, dan terakhir adalah akun oposisi.

Sebagian masyarakat ada yang tidak ingin terlalu masuk ke dalam perdebatan sehingga lebih banyak menggunakan data dari media.

"Yang kita lihat, kita perlu bisa lebih merangkul kubu ini. Merangkul masyarakat. Semua masyarakat supaya bisa jalan bareng. Karena kalau kita lihat di medsos, pertempuran masih ada," kata Ismail menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement