Rabu 22 Apr 2020 21:11 WIB
haji

Taruhan Nyawa: Derita Dan Perjalanan Berbahaya Naik Haji

Deria dalam pelajaran haji tempo dulu

Kapal yang membawa jamaah haji berangkat ke Makkah pada tempo dulu.
Foto: wikipedia
Kapal yang membawa jamaah haji berangkat ke Makkah pada tempo dulu.

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada Kamis, 4 Agustus 12.08 WIB beberapa tahun lalu,  sebuah pesan pendek mampir ke telepon selular. Isinya mengejutkan, unik, dan sekaligus ajaib. Sebuah penawaran berangkat haji dengan harga selangit.

Isi pesan pendek (SMS,red) itu sebagai berikut: “Ass. Paket Haji Plus, daftar langsung berangkat tahun ini, tempat terbatas hrg US$ 13.500, Info hub: HP/WA 0812 xxxx xxxx.”

Bagi banyak orang yang suka memperhatikan isu soal haji, pesan pendek ini terlalu biasa. Apalagi pada saat yang sama juga ke luar ‘desas-desus’ baru bila ada peluang memakai jatah kursi haji milik negara Timor Leste. Harganya separuh dari tawaran tersebut, yakni sekitar 6.500 – 7000 dolar Amerika Serikat.

Dan tanpa diduga dipertengahan Agustus ini muncul berita menghebohkan. Sebanyak 177 calon haji dari Indonesia ditahan otoritas imigrasi negara jiran Philipina. Dan setelah diusut, mereka ternyata memakai paspor dan visa haji asal negara itu. Maka publik pun geger. Apalagi para calon haji itu kini harus mendekam dalam rumah tahanan imigrasi di Filipina.

Maka kementerian luar negeri pun dibuat sibuk. Pekerjaan mereka bertambah yang tadinya hanya mengurus soal sandera WNI oleh kelompok Abu Sayaf, kini ditambah beban soal WNI yang terbelit visa dan paspor haji di Filipina.

"Saya tekankan kembali bahwa 177 jamaah haji WNI ini adalah korban, sekali lagi mereka adalah korban," lanjut Menlu Retno Marsudi. Ia pun berjanji berusaha keras memulangkan mereka secepatnya ke Indonesia.

Minat berhaji orang Indonesia memang luar biasa. Antrean sudah begitu panjang. Jumlah yang mengantre sudah mencapai 2,5 juta orang. Tahun antrean pun dibanyak wilayah sudah mencapai 20 tahun.

Akibat panjangnya antrean berhaji, maka berbagai cara ditempuh agar bisa menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima ini. Bukan rahasia bila banyak jamaah haji berangkat dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan yang terakhir ‘tercium’ dari Filipina. Pendek kata, berbagai cara ditempuh asal bisa berhaji, tak peduli berangkat dari negara mana.

Mengacu pada kajian Martin van Bruinessen ‘Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji’ semenjak dahulu minta pergi haji orang asal Nusantara (Indonesia,red) tetap tinggi. Bahkan, di antara seluruh jamaah haji, orang Nusantara selama satu setengah abad  terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan  awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh  haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang  lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia.

Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di  Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang 'Jawah' (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.

Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab. Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jamaah haji Indonesia abad-abad  sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali.

Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.

Martin selanjutnya menulis, perjalanan panjang dan berbahaya sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja ha rus dilakukan dengan perahu  layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji  menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh, pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki 'serambi Makkah'), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari  kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke  Jeddah.

Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah  tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam  dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu sendiri.

Para musafir haji yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena  di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jamaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab.

Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak  banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan  perjalanannya, namun  dalam ceritera legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka  dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.

Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji pada tahun 1854, tidak lama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api.

Mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang: Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang  dari kanan lepas ke kiri.

Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang.

... Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (

Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kepulauan Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti orang:

“Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup bagi seorang, ah, ah, ah!'.....

 Dari kajian Marin, pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858, jamaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement