Jumat 10 Apr 2020 15:05 WIB

Ekonom: Industri Perbankan Mampu Lewati Krisis Tahun Ini

Masalah yang dihadapi industri perbankan ialah penangguhan cicilan yang berisiko NPL.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Kredit bank (ilustrasi). Center of Reform on Economics (Core) menilai saat ini kondisi industri perbankan masih cenderung stabil di tengah penyebaran virus corona. Setidaknya kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait restrukturisasi kredit cukup menekan kredit bermasalah atau non perfoming loan (NPL).
Foto: Tim Infografis Republika
Kredit bank (ilustrasi). Center of Reform on Economics (Core) menilai saat ini kondisi industri perbankan masih cenderung stabil di tengah penyebaran virus corona. Setidaknya kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait restrukturisasi kredit cukup menekan kredit bermasalah atau non perfoming loan (NPL).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) menilai saat ini kondisi industri perbankan masih cenderung stabil di tengah penyebaran virus corona. Setidaknya kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait restrukturisasi kredit cukup menekan kredit bermasalah atau non perfoming loan (NPL).

Ekonom Core Piter Abdulllah mengatakan industri perbankan memiliki potensi kenaikan NPL akibat penyebaran virus corona. "Kebijakan otoritas sekarang ini justru membantu sektor perbankan menghadapi berbagai tekanan khususnya tekanan NPL,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Jumat (10/4).

Baca Juga

Menurutnya kebijakan yang dikeluarkan otoritas sangat bersifat hati-hati. Sehingga diyakini industri perbankan bisa melewati masa kesulitan saat penyebaran virus corona di Indonesia. 

Adapun kebijakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical. “Kita harus bersyukur bahwa pasca krisis 1998 otoritas perbankan saat itu BI sudah melakukan reformasi besar sektor perbankan yang kemudian dilanjutkan oleh OJK. Perbankan kita mampu melewati banyak krisis, juga akan mampu melemah krisis tahun ini,” ucapnya.

 

Sementara Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistiran Adhinegara menambahkan saat ini masalah yang dihadapi industri perbankan terkait penangguhan cicilan kredit. Sebab, teknis di lapangan dengan pernyataan pemerintah banyak yang tidak sinkron. 

“Wajar debitur dan manajer bank/leasing juga kebingungan. Selain itu dalam kondisi seperti sekarang hrusnya OJK bebaskan semua iuran bagi bank yang tertekan,” ucapnya.

Bhima pun menyoroti beberapa indikator industri perbankan yang harus diwaspadai, seperti penurunan pertumbuhan kredit bergerak sangat cepat, per Februari 2020 pertumbuhan kredit total tercatat 5,5 persen. Adapun tingkat pertumbuhan kredit konsumsi anjlok cukup dalam sebesar 6,1 persen.

“Artinya ini menunjukkan pergeseran masyarakat dari belanja lebih banyak saving ke bank. Berhemat menjadi opsi tekanan dari sisi pendapatan cukup berat,” ucapnya.

Dari sisi kredit investasi juga mulai melandai ke level 10 persen dan kredit modal kerja turun tajam ke level 2,6 persen secara year on year (yoy). Artinya beragam indikator perbankan tersebut menunjukkan adanya pelemahan tajam dibanding 2019. 

Per Februari 2019 pertumbuhan kredit sebesar 12 persen yoy dan kredit investasi kala itu masih cukup positif sebesar 13,4 persen dan kredit konsumsi tumbuh 9,5 persen.

“Risiko kredit macet jelas naik, sehingga bank lebih selektif memilih debitur. Kalau salah pilih NPL bisa bengkak. Bahkan debitur dengan catatan pembayaran cicilan lancar pun dalam krisis corona bsa jadi macet,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement