Pedoman Penetapan Ramadhan

Red: A.Syalaby

Sabtu 04 Apr 2020 11:42 WIB

Staf pengajar menerangkan teknik pengamatan bulan saat pembelajaran ilmu Astronomi dan rukyatul hilal 1 Dzulhijjah 1440 H di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (1/8/2019). Foto: Antara/Saiful Bahri Staf pengajar menerangkan teknik pengamatan bulan saat pembelajaran ilmu Astronomi dan rukyatul hilal 1 Dzulhijjah 1440 H di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (1/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,  Sya’ban sudah berjalan lebih dari sepekan. Ramadhan pun hanya tinggal menghitung hari. Tamu yang mulia itu akan membawa kaum Muslimin ke dalam suasana spiritual terbaik dalam hidupnya.

Kewajiban puasa selama sebulan penuh menjadi sesuatu yang spesial bagi kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Tak pelak, pengumuman awal Ramadhan dari pemerintah menjadi momentum yang ditunggu-tunggu untuk menentukan apakah besok puasa atau tidak. 

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat berharap tahun 2019/1440 ini tidak akan ada perbedaan waktu dimulainya Ramadhan dan Idul Fitri.  Meski demikian, umat Islam Tanah Air sudah berpengalaman dalam  penetapan Idul Fitri dan Idul Adha bukanlah sesuatu yang baru.

Namun, di kalangan akar rumput, perbedaan seperti ini kerap kali menimbulkan masalah dan ketegangan. Untuk mengatasi hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. 

Dalam pertimbangannya, Komisi Fatwa MUI  menyebutkan bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama. Penyebabnya, adanya perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut.

Para ulama menilai, perbedaan penetapan ketiga awal bulan itu dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syiar dan dakwah Islam. Sehingga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk dijadikan sebagai pedoman.

Berdasarkan putusan ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhjjah  serta keputusan rapat komisi fatwa MUI, telah ditetapkan fatwa tentang penetapan ketiga awal bulan tersebut.Fatwa MUI itu menetapkan, pertama, penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama, dan berlaku secara nasional.

Kedua, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. Ketiga, dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah, menteri agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait.Keempat, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

photo
Tim rukyatul hilal melakukan pemantauan posisi hilal di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (5/5/2019). - (Antara/Zabur Karuru)

Fatwa itu merekomendasikan agar MUI mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk dijadikan pedoman oleh menteri agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam fatwa penetapan awal bulan dengan metode hisab Muhammadiyah menegaskan, rukyatul hilal merupakan salah satu cara untuk menentukan awal bulan Qamariah.

Cara yang lain, dengan memperoleh berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari (istikmal), dan dengan perhitungan/hisab. Jadi, rukyatul hilal tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.

Muhammadiyah menyatakan bahwa penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum Muslim mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar, yang dilakukan oleh Mazhab Mutraf ibnu Syuhair, seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid juz I halaman 196. 

Dalam kitab itu disebutkan, Bila hilal sulit diobservasi, yang dipegangi ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran bulan dan matahari. Landasan dari hisab ini ialah firman Allah surah Yunus [10] ayat 5. ‘Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) ...”

Sistem dan metode hisab yang dipergunakan oleh Muhammadiyah didasarkan pada kitab Hisab Urfi dan Haqiqy yang disusun oleh KH KRT Wardan Diponingrat, dan dikembangkan dengan sistem dan metode Newcomb, Brauwn, Jean Meus, dan teori-teori astronorni modern yang lain. 

Metode yang dikembangkan oleh Ulug Beik as-Samarkandi itu bersumber pada Ptolomeus yang menyusun kitab Tabril Majesti. Kitab itu sudah ditinggalkan orang karena masih menganut teori geosentris. Sekarang orang sudah memegangi heliosentris.

Bahtsul Masail PBNU menjelaskan, metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik ( rukyatul hilal bil fi'ly ). Sedangkan metode perhintungan astronomi ( hisab ) dipakai untuk membantu prosesi rukyat. 

Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. 

Nahdlatul Ulama, dalam fatwa yang ditetapkan dalam Bahtsul Masail pada Muktamar NU di Liboyo, Kediri, Jawa Timur 27 November 1999, menyatakan, Umat Islam Indonesia serta Pemerintah Republik Indonesia tak dibenarkan mengikuti rukyat al-hilal internasional karena tak berada dalam kesatuan hukum.”