Jumat 03 Apr 2020 08:51 WIB
Corona

Mitigasi Logika Paranoid Publik Hadapi Covid-19

Mengapa histeria dan kepanikan publik terjadi?

Ilsutrasu kepanikan atau histeria massa.
Foto: google.com
Ilsutrasu kepanikan atau histeria massa.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Verdy Firmantoro, Peneliti Indopol dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Mengamati kasus covid-19, saya teringat dengan tulisan Tom Nichols mengenai Matinya Kepakaran “The Death of Expertise”. Dan Murphy, seorang Kepala Biro Timur Tengah dan Asia Tenggara, The Christian Science Monitor memuji karya Tom Nichols yang dianggap dengan apik menggambarkan konstruksi realitas yang acapkali menyesatkan.

“Ketika warga Amerika membuat opini tanpa berpegang pada jurnalisme yang sesungguhnya, hoaks jadi lebih sulit dibunuh daripada monster-monter di film, dan kata ‘akademis’ sering dianggap sebagai label yang menjijikkan,”  tulis Murphy ketika mengomentari karya Tom Nichols yang terbit tahun 2018.

Awam pun berbondong-bondong memberikan pandangan dengan ratusan atau jutaan pengikut, media-media digital menjadi orkestra saluran informasi yang otoritatif bagi netizen, hoaks merajalela, kebenaran menjadi bias. Pada kondisi inilah sangat relevan mengacu pada apa yang disebut dengan “Matinya Kepakaran”.

Buku karya Thomas Nicholas ini mengajak kita berpikir kritis dengan mencoba untuk menggali substansi persoalan daripada ikut terjebak dalam kegemparan realitas yang mengalienasi kebenaran. Masyarakat dibuat panik bukan kepayang, anomali kebijakan saling tumpang tindih menerka-nerka efektivitas penyelesaian, sementara itu sangat minim yang mempersoalkan masalah dasar tentang pemahaman masyarakat terkait covid-19 secara benar dan tuntas.

Media begitu cepat menyebarluaskan tentang korban demi korban yang terus bergelimpangan. Masyarakat dibuat panik tanpa landasan pengetahuan. Mereka tidak tahu yang seharusnya dilakukan. Inilah yang mengarahkan terbentuknya logika paranoid di kalangan masyarakat. Meminjam istilah Gaye Tuchman (1980) dalam Making News, A Study in the Construction of Reality, “Media mengonstruksi realitas sosial”.

Covid-19 dan Logika Paranoid

Sejumlah spekulasi menyeruak menyoal kasus covid-19. Mulai dari yang menggunakan perspektif sederhana sampai analisis yang sifatnya kompleks. Setidaknya saya mencatat sejumlah anasir yang mem-framing publik terkait covid-19, di antaranya: pandangan bahwa virus ini membahayakan bahkan mematikan, belum ada obatnya, sangat mudah menyebar, ada juga yang berpandangan tidak perlu takut virus cukuplah takut Allah, sampai pandangan ekonomi politik bahwa di balik virus ini ada muatan kepentingan yang salah satunya berkaitan dengan ketidaktuntasan perang dagang Tiongkok vs Amerika Serikat.

Alhasil, berangkat dari pandangan yang beragam dalam memahami covid-19 mendorong munculnya perilaku yang berbeda-beda.

Pandangan publik tidaklah muncul begitu saja. Setiap pandangan merupakan hasil interpretasi atas realitas kasus yang terus menerus diterima terutama dari aktivitas “mengonsumsi informasi” dari berbagai media. Tidak semua media memberikan informasi secara komprehensif dengan merujuk pada para pakar.

Demikian juga publik yang seringkali lebih cepat terpapar informasi secara cuma-cuma, sebelum memastikan validitas kebenarannya. Dampaknya, ketakutan demi ketakutan terus diproduksi dengan tidak bertanggung jawab, semua saling curiga.

Alih-alih membangun kesadaran bersama, yang terjadi justru terbangunnya logika paranoid di tengah-tengah masyarakat. Merujuk pada tulisan Richard Hofstadter (1996) tentang The Paranoid Style in America Politics and Other Essay, memang paranoid lebih dekat dengan terminologi medis, namun paranoid secara umum bisa diartikan sebagai perasaan takut yang berlebihan disertai dengan kecurigaan. Masyarakat cemas, tetapi kecemasannya tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai.

Konstruksi paranoid semakin berkembang dan menjadi logika publik. Imbasnya, sosialisasi-sosialisasi kebijakan seringkali terabaikan. Padahal, setiap orang perlu diajak untuk bertanggung jawab atas diri dan lingkungannya. Cara berpikir seperti ini tidak menyelesaikan masalah, stop paranoid..!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement