Ahad 29 Mar 2020 04:53 WIB

Hukum Menunaikan Haji Lewat 'Jalan Pintas'

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.

Hukum Menunaikan Haji Lewat 'Jalan Pintas'
Foto: Republika/ Amin Madani
Hukum Menunaikan Haji Lewat 'Jalan Pintas'

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji sebagai rukun (soko guru/tiang utama) Islam yang kelima hanya berlaku bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 97. Itu pun hanya wajib dikerjakan sekali seumur hidup, sekalipun bagi orang yang punya kemampuan berhaji setiap tahun.

Menurut fuqaha (ahli fikih) Hanafiyah dan Malikiyah, kemampuan itu mencakup tiga unsur, yakni kekuatan fisik, harta, dan keamanan di perjalanan dan di Tanah Suci. Sedang menurut fuqaha Syafi'iyah, kemampuan itu mengandung tujuh komponen, yakni kekuatan fisik, harta, tersedia alat transportasi, tersedianya kebutuhan pokok yang akan dikonsumsi di Tanah Suci, aman di perjalanan dan di Tanah Suci, bagi perempuan harus ada pendamping suami atau mahram, dan semua kemampuan itu harus diperhitungkan sejak bulan Syawal sampai berakhirnya rangkaian ibadah haji.

Baca Juga

Sedangkan fuqaha Hanabilah (pengikut mazhab Hanbali) tidak memberi penafsiran yang luas terhadap pengertian kemampuan tersebut, karena mereka merasa cukup dengan sabda Nabi SAW ketiak ditanya tentang pengertian kemampuan melaksanakan ibadah haji: "Kelebihan harta dan keamanan perjalanan" (HR at-Turmudzi dari Ibnu Umar).

Lantas, bagaimana dengan dengan orang yang bersikeras (memaksakan istitha'ah) menunaikan ibadah haji dengan menempuh cara di luar prosedur resmi pemerintah? Karena alasan masa menunggu untuk mendapat porsi haji resmi membutuhkan waktu yang sangat lama (sekitar 20 tahun), maka banyak yang menempuh jalan pintas, seperti menunaikan ibadah haji non-kuota, 'membeli' porsi haji, memakai visa ziarah, visa kerja, dan sebagainya.

Karena mereka berada di luar kontrol pemerintah, maka keberadaan mereka di Tanah Suci membuat resah jamaah haji resmi karena tidak jarang mereka menyerobot hak jamaah haji resmi, baik yang terkait konsumsi, pemondokan, dan penggunaan fasilitas lain. Tidak sedikit pula mereka yang telantar sehingga dapat merepotkan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.

KH Ahmad Zahro dalam bukunya Fiqih Kontemporer menegaskan dalam bukunya menunaikan haji non-kuota hukumnya haram karena amat potensial menimbulkan bahaya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Tindakan itu juga melanggar ketentuan pemerintah.

Banyak sekali ayat dan hadits yang dapat mendasarinya, antara lain firman Allah (yang maknanya: "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan pemerintah kalian..." (an-Nisa' ayat 59), dan firman-Nya: "... Dan janganlah kalian perosokkan diri dalam bahaya, berbuat baiklah, karena sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (al-Baqarah: 195).

Juga sabda nabi SAW: "La dharara wala dhirara (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain). Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan adh-Dhararu yuzalu (semua bentuk bahaya harus dihilangkan).

Soal sah-tidaknya ibadah haji non-kuota tersebut, asal prosesi ibadahnya dilaksanakan sesuai tuntunan, memenuhi wajib dan rukunnya, maka secara fiqih hajinya sah. Jadi menunaikan ibadah haji non-kuota sama sekali tidak terkait dengan sah atau tidaknya ibadah haji, melainkan semata-mata terkait dengan status dan prosedur keberangkatannya yang menyalahi aturan.

Tetapi perlu diperhatikan Islam tidak menganjurkan umatnya berperilaku takalluf (ngoyo, memberatkan diri sendiri) dalam melaksanakan ajarannya. Allah berfirman: "La yukallifullahu nafsan illa wus'aha...", Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (al-Baqarah: 286). Apalagi jika demi melaksanakan ajaran tersebut dengan melanggar aturan dan menimbulkan gangguan, maka jelas amat terlarang. Wallahu a'alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement