Jumat 20 Mar 2020 22:37 WIB

Para Khalifah dari Umar Hingga Mehmed II Perangi Korupsi

Para khalifah Dinasti Islam menyatakan perang melawan korupsi.

Para khalifah Dinasti Islam menyatakan perang melawan korupsi. Ilustrasi Korupsi(Pixabay)
Foto: Pixabay
Para khalifah Dinasti Islam menyatakan perang melawan korupsi. Ilustrasi Korupsi(Pixabay)

REPUBLIKA.CO.ID, Contoh perang melawan korupsi yang diteladankan Rasulullah SAW menjadi dasar penting bagi negara Islam pada masa berikutnya. 

A F Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang melakukan korupsi.

Baca Juga

Belum lama menjabat, Umar juga menginspeksi kekayaan pejabat negara dan menyita harta yang didapat bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di Baitul Mal untuk digunakan bagi kepentingan rakyat.

Sebagai pencegahan lanjutan, ia melarang pejabat eksekutif turut campur dalam pengelolaan Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pengelola keuangan daerah tidak bergantung pada gubernur dan tanggung jawab mereka langusng kepada pemerintah pusat.

Tuduhan korupsi dan nepotisme juga kuat menerpa kepemimpinan Utsman bin Affan. Kala itu, Utsman dianggap sengaja menunjuk karib kerabatnya untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Namun, semua dibantah langsung oleh Utsman. 

Sementara, pada masa Ali bin Abi Thalib, pemecatan pejabat korup juga dilakukan meski menimbulkan pergesekan politik.

Pada masa Dinasti Umayah (661-750 M), Umar bin Abdul Aziz mengembalikan semua harta masyakat yang sebelumnya diakui dan digunakan raja dan keluarganya. 

Ia juga menegakkan hukuman kepada mereka yang terbukti melakukan korupsi. Para pejabat juga diberi gaji sebesar 300 dinar dan dilarang mencari pemasukan sampingan.

Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam Prohibits All Forms of Corruption” menulis, selama satu pemimpin di masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), Jafar al- Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah.

Suap terhadap hakim (qadi), tulis Omer Duzbakar dalam artikelnya, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The Bursa Shari’a Court Records of 18th Century”, merupakan aktivitas yang berjalan sejak Dinasti Turki Usmani berdiri. 

Mereka yang menyuap umumnya meminta para hakim merekomdasikan mereka agar masuk dalam lingkaran terdekat kekuasaan.

Sistem fiskal dan sistem administrasi mulai menunjukkan kemundurannya setelah abad ke-16. Pemerintah kehilangan otoritas dan pemasukan pajak pun berkurang. Aksi korupsi menyebar ke berbagai instansi. Ini tidak mengherankan karena pada masa itu mulai ada izin kepemilikan lahan dan usaha pribadi, perkara ini juga menarik minat penyelenggara pemerintahan.

Pada masa kepemimpinan Mehmed IV, didirikanlah sebuah dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat. Ia juga menjalankan hukuman bagi mereka yang kedapatan memperkaya diri dengan cara yang tidak sah. Pada abad ke-18, pemberian hadiah menjadi cara lain penambahan jumlah harta pejabat negara.

Pembenahan moral bukannya tak dilakukan. Mehmed II dan Sulayman sudah berupaya menanamkan integritas dan kejujuran kepada para pejabat di bawah kepemimpinan mereka.

Pada abad ke-16 dan 17, pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau mazalim juga dibentuk. Namun, tidak ada hukuman yang benar-benar berat bagi para penerima suap atau pelaku korupsi. Mereka diminta mengembalikan harta yang mereka terima secara ilegal itu.

Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Hukuman ini pun pelaku untuk wanita. Pejabat wanita yang melakukan korupsi atau menerima suap dihukum penjara maksimal satu tahun.

Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal dilakukan selama enam tahun. Semua hukuman ini pada dasarnya diharapkan menimbulkan jera bagi para pelaku dan menjadi contoh bagi pejabat lainnya.

Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda. Pada kasus tertentu, hukuman mati bisa diganti dengan sejumlah harta. 

Namun, modifikasi kejahatan juga dilakukan. Pejabat negara pada masa itu memang tidak melakukan korupsi dan menerima suap, tapi sebagian mereka memodifikasinya dengan aksi memeras.

 

 

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement