Kamis 12 Mar 2020 06:17 WIB
Pembantaian Umat Islam Eropa

Rompi, Peci, dan Kontrak Mati Soeharto di Sarajevo

Dua hari sebelum kunjungan, pesawat utusan PBB ditembah jatuh di Bosnia.

Rep: Ali Mansur/ Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum peristiwa memilukan itu, pada awal Maret 1995 menjadi hari yang bersejarah bagi hubungan dua bangsa mayoritas Muslim, Indonesia dan Bosnia-Herzegovina. Presiden RI kedua (alm) Jenderal (purn) Soeharto melakukan misi kontrak mati dengan mengunjungi Sarajevo, memberikan dukungan moril kepada Umat Islam Bosnia.

Aksi ini tergolong nekat, karena dua hari sebelum kunjungan yang tercatat pada 11 Maret 1995, sebuah pesawat utusan PBB ditembak jatuh di atas udara Bosnia. Namun Soeharto tetap kekeuh ingin mengunjungi Sarajevo, meski nyawa taruhannya.

Dalam Buku 'Pak Harto The Untold Stories' yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2011, diceritakan awalnya Panglima pasukan PBB di Bosnia tidak mengizinkan Soeharto berkunjung di Sarajevo. Namun setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke ibu kota Bosnia-Herzegovina tersebut.

Baca Juga: Ratu Isabella di Balik Lenyapnya Islam di Granada

Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Soeharto.

Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang perempuan petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.

Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk dua awak media.

Dalam buku itu, Sjafrie mengaku was-was saat Soeharto menolak mengenakan helm, ia lebih memilih mengenakan peci hitam khasnya. Bahkan tidak ingin menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.

Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. "Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," jelas Sjafrie.

Baca Juga: Genosida kepada Muslim Bosnia, Harga Sebuah Kemerdekaan

Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan.

Sebenarnya, saat itu lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia. Meski demikian, Soeharto nampak tenang dan tidak ada rasa takut.

"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," tutur Sjafrie.

Rombongan Soeharto harus melewati Sniper Valley, yaitu sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia-Herzegovina. Pemimpin orde baru itu, menaiki panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB.

Setelah sampai di Istana Presiden, keadaannya sangat memprihatinkan. Bahkan sekadar air yang mengalir pun tidak ada. Untuk mendapatkan air bersih harus diambil dengan ember. Sarajevo porak-poranda usai dikepung dan diserang Serbia.

Sementara itu, Presiden Bosnia-Herzegovina, Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan rombongan Soeharto. Alija benar-benar bahagia Soeharto benar-benar berkunjung.

Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Bahkan sampai bertarung nyawa.

"Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Soeharto.

Berselang 22 tahun kemudian, pada November 2017 lalu, Pengadilan PBB menyatakan mantan komandan militer Serbia Bosnia Ratko Mladic terbukti melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap kemanusiaan dalam pembantaian dan pembersihan etnis di perang Bosnia. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya.

Persidangan Mladic berlangsung selama 530 hari atau dalam kurun waktu lebih dari empat tahun. Setelah buron hampir 16 tahun, Mladic ditangkap di Serbia utara pada Mei 2011 dan ia mulai diadili pada tahun 2012.

Sumber: Buku Pak Harto The Untold Stories (Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Walyu, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari), Dokumen ICTY, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (DR. Raghib As-Sirjani), Khazanah Republika, The Guardian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement