Sabtu 08 Jul 2017 08:08 WIB

Sri Mulyani: Pembangunan Harusnya Dibiayai Pajak Bukan Utang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Menteri Keuangan Sri Mulyani  menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/6).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pemikirannya tentang pengelolaan utang pemerintah. Penjelasannya ini menyusul keputusan pemerintah untuk menaikkan pembiayaan utang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017 dari Rp 384,7 triliun menjadi Rp 461,3 triliun. Lebih rinci lagi, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) naik menjadi Rp 467,3 triliun, dari Rp 400 triliun.

Sri menyebutkan saat ini rasio utang pemerintah masih berada di bawah 30 persen terhadap PDB, dengan defisit fiskalnya yang dicoba untuk dijaga di kisaran 2,5 persen terhadap PDB. Menurutnya angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G-20 lainnya.

Menurutnya, dengan defisit di kisaran 2,5 persen Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen. Artinya, stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif.  "Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati). Presiden Joko Widodo tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintahannya untuk mengejar ketinggalan pembangunan," ujar Sri.

Sri menjelaskan latar belakang pengelolaan utang yang dijalankan pemerintah selama ini terutama utang yang digunakan kemudian untuk melakukan pembangunan. Ia mengungkapkan, selama ini pembangunan sempat tertunda dan tidak maksimal karena dalam kurun waktu 20 tahun belakangan, pemerintah Indonesia fokus menangani krisis ekonomi 1998 dan 2008

Tak hanya itu, pemerintah juga sempat dihadapkan dengan tekanan pelemahan global pada 2014. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan fiskal ekspansif sebagai stimulus untuk mendorong ekonomi serta melindungi masyarakat Indonesia. Bagi Sri, peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negeri.

"Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal," ujar Sri.

Sri menilai bahwa penduduk Indonesia dengan demografi muda memerlukan investasi pendidikan dan kesehatan yang besar. Ia menegaskan, APBN akan terus ditujukan untuk dapat mencukupi belanja pendidikan dan kesehatan yang cukup besar ini, agar SDM Indonesia tidak tertinggal dari bangsa lain.

"Oleh karena itu, penerimaan perpajakan terus digenjot dengan reformasi pajak agar belanja dan biaya pembangunan dapat dibiayai oleh pajak, bukan utang," ujar dia.

Pemerintah, sebutnya, akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit anggaran sesuai aturan perundangan dan dilakukan secara hatihati dan profesional, sehingga lndonesia dapat terus maju dan sejahtera, tetapi tetap terjaga resiko keuangan dan utangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement