Selasa 03 Apr 2012 17:00 WIB

Persaingan Usaha dalam Perspektif Hukum Nasional dan Islam

Endang Zakaria
Foto: humas umj
Endang Zakaria

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endang Zakaria 

Perdagangan bebas terus bergulir dan sulit untuk dihindari. Terlebih di era kecanggihan informasi dan teknologi seperti sekarang ini, apapun bisa di perjual belikan dengan mudah dan cepat, meski tanpa harus bertemu muka antara produsen dan kosumen di dua wilayah yang berjauhan.

Akibatnya persaingan bisnis pun saat ini menjadi semakin ketat dan keras. Kalau dulu pesaing kita adalah “pemain” lokal, kini kita akan berhadapan dengan “pemain-pemain” berskala nasional, regional bahkan internasional. Bukan hanya itu, dalam perkembangannya persaingan bisnis saat ini cenderung mengarah pada praktik persaingan liar yang menghalalkan segala cara (machiavelistik).

Istilah persaingan usaha yang sehat kini terasa semakin berkembang di tanah air. Tidak hanya bagi kalangan ahli hukum dan akademisi melainkan juga di kalangan masyarakat, perlahan tetapi pasti mulai memahami dan menyadari tujuan dan manfaat dari kelahiran UU No. 5 tahun1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peluang-peluang usaha yang tercipta selama dasawarsa yang lalu dalarn kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.

Fenomena di atas telah berkembang didukung oleh adanya hubungan saling terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, serta cenderung menampakkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan jatah berlebih, sehingga berdampak pada munculnya kesenjangan sosial. Munculya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.

Perkembangan bisnis di Indonesia telah menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok raksasa konglomerat. Di samping ada unsur positifnya, perkembangan tersebut telah menimbulkan dampak negatif berupa tidak terlindunginya usaha kecil maupun konsumen. Monopoli dan trust telah menjadi masalah yang krusial di negeri ini.

Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Kegiatan yang dilarang dalam praktek bisnis adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominan, jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis (Elsi Kartika Sari, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2007. hlm. 172).

Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: "...agar harta itu jangan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian..." (QS 59: 7). Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Para ulama terkemuka abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang mendalam tentang praktik monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam sangat mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama.

Negara bertanggung jawab penuh untuk menciptakan keadilan ekonomi, dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena itulah, beliau menekankan pentingnya keberadaan lembaga al-Hisbah sebagai organ negara yang bertugas untuk memonitor pasar, mengawasi kondisi perekonomian dan sekaligus mengambil tindakan jika terjadi ketidakseimbangan pasar akibat monopoli dan praktik-praktik lain yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya At-Turuk al-Hukmiyyah (Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT, 2002, hlm.151).

Sementara itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar. Ia menegaskan bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus untuk mengeliminasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di pasar, termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh segelintir pebisnis.

Monopoli dalam Hukum Nasional

Monopoli diartikan sebagai sebuah pasar yang hanya memiliki satu penjual (produsen) tetapi memiliki banyak pembeli (Pindyck, Robert S., and Daniel Rubinfeld, Microeconomics, sixth edition (New Jersey: Prentice Hall), 2005, hlm. 339). Dengan demikian, penawaran monopolis sekaligus juga sebagai penawaran pasar (industri), dengan kata lain permintaan terhadap output perusahaan merupakan permintaan industri. Dapat dikatakan bahwa monopolis tidak memiliki kompetitor. Dalam kenyataannya jarang ditemukan monopoli murni (pure monopoly), yang banyak ditemukan adalah kondisi di mana hanya terdapat sedikit perusahaan (produsen) yang bersaing di dalam pasar.

Secara umum pasar monopoli dicirikan oleh karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

1.    Pasar monopoli adalah pasar dengan satu perusahaan (produsen).

2.    Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip (close substitution).

3.    Tidak ada kemungkinan untuk masuk dalam industri, hambatan masuk ke dalam pasar (entry barrier) sangat tinggi.

4.    Monopolis menguasai penentuan harga (price setter).

5.    Promosi iklan kurang diperlukan

    Berdasarkan karakteristik ke empat, monopolis memiliki apa yang disebut sebagi market power, yaitu kekuatan/kemampuan untuk menentukan harga dari suatu barang di pasar. Sumber-sumber market power yang dimiliki oleh monopolis, dalam hal ini disebut sebagai monopoly power antara lain adalah: (i) elastisitas permintaan pasar, (ii) jumlah perusahaan dalam pasar, (iii) interaksi di antara perusahaan di dalam pasar.

Dalam pandangan hukum nasional, monopoli tentu dilarang. Hal itu sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Monopoli dalam Hukum Islam

Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam. Pelarangan ikhtikar bersumber dari Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa. “Tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia berdosa.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memonopoli bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya.” (HR Ahmad)

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai dua hal tentang ikhtikar di antara para ahli fiqih, yakni jenis barang dan waktu diharamkannya ikhtikar. Karena keterbatasan referensi, alam pembahasan mengenai hal tersebut, penulis hanya dapat mengutip pendapat beberapa ahli fikih yakni pendapat Imam al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi. Menurut Imam al-Ghazali pengharaman ikhtikar hanya terbatas pada barang-barang kebutuhan pokok, selain kebutuhan pokok termasuk penopang bahan makanan pokok seperti obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak dikenakan larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Yusuf Qardhawi yang menurutnya pengharaman ikhtikar tidak terbatas pada barang kebutuhan pokok saja melainkan barang yang dibutuhkan manusia, baik makan pokok, obat-obatan, pakaian, peralatan sekolah, peraabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Waktu pelarangan ikhtikar menurut Imam al-Ghazali adalah dikhususkan pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit sementara orang-orang sangat membutuhkannya, sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang rendahk kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk tindakan yang membahayakan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa terdapat tiga syarat ikhtikar menurut Imam al-Ghazali, yakni: (i) obyek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat; (ii) waktu penimbunan adalah pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit, atau dapat dikatakan pada masa paceklik, (iii) tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal. Sehingga tindakan untuk menyimpan barang untuk keperluan persediaan tidak dilarang.

Secara singkat, Adiwarman Karim menyatakan bahwa suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar apabila terpenuhinya syarat-syarat di bawah ini:

1.    Mengupayakan adanya kelangkaan barang, baik dengan cara menimbun stok atau mengenakan hambatan masuk kepada perusahaan lain untuk masuk ke dalam pasar (entry barriers).

2.    Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibangingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.

3.    Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum syarat 1 dan 2 dilakukan.

Pandangan ekonomi Islam terfokus pada masalah mekanisme penentuan harga, yang di dalam monopoli (dengan ikhtikar) yang cenderung berpotensi merugikan konsumen di satu pihak dan menguntungkan produsen di pihak lain, sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dalam ajaran Islam, meskipun keuntungan yang dihasilkan tanpa melakukan ikhtikar lebih sedikit, akan tetapi merupakan keutungan yang mencerminkan keadilan baik untuk penjual (produsen) maupun untuk pembeli (konsumen), atau dengan kata lain harga harus mencerminkan keadilan baik dari sisi produsen maupun konsumen. Hal tersebut dikaitkan dengan parameter etis yang dapat merepresentasikan ajaran Islam. Selain keadilan (adl), paremeter etis yang membedakan ajaran ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah kesederhanaan, dan persaudaraan.

Islam merupakan satu-satunya agama yang mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan manusia, tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai ekonomi. Islam juga telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.

Sebagai agama yang komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital kemanusiaan tidak luput dari perhatian. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275), Ayat-ayat inilah yang menunjukkan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang merujuk pada aktivitas ekonomi.

Fakta Yuridis

Fakta yuridus yang terjadi di lapangan adalah masih banyaknya praktek monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dalam berbisnis, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, liberalisasi media sejak reformasi 1998 telah membawa pengaruh yang sangat penting dalam demokratisasi. Perubahan tersebut sangat jelas dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Perkembangan yang kuat pada masa Reformasi ialah, diperjelas dan dipertegasnya kebebasan pers dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-undang Pers dan semakin kukuhnya liberalisasi ekonomi. Pengaruh liberalisme bersamaan dengan kebebasan media dan demokrasasi telah mendorong tampilnya neoliberalisme, dan media massa adalah bagian penting neoliberalisme tersebut. Kebebasan atau liberalisasi media juga memberikan keleluasaan dalam pemilikan media yang oleh pemodal kesempatan tersebut bergegas dimanfaatkan karena menjadi bagian dari strategi bisnis yang menguntungkan.

Sebuah monopoli yang diberikan pemerintah (juga disebut “de jure monopoli”) adalah bentuk monopoli koersif dimana pemerintah memberikan keistimewaan eksklusif untuk individu pribadi atau perusahaan untuk menjadi penyedia tunggal barang atau jasa; pesaing potensial dikeluarkan dari pasar oleh hukum, peraturan, atau mekanisme lain penegakan pemerintah. Hak cipta, paten dan merek dagang adalah contoh monopoli yang diberikan pemerintah.

Monopoli memiliki potensi besar untuk kerusakan, baik ekonomi dan pemerintahan yang demokratis (walaupun mereka dapat sangat bermanfaat untuk jenis lain pemerintah. Sayangnya, tingkat kerusakan penuh biasanya tidak jelas, setidaknya kepada masyarakat umum, sebagai efek yang tampaknya menguntungkan. Dan monopolis sering pergi ke panjang ekstrim untuk menyamarkan atau menyembunyikan efek berbahaya tersebut. Di antara cara-cara di mana monopoli tidak diatur dapat merusak perekonomian adalah dengan menyebabkan:

(1) Secara substansi harga lebih tinggi dan tingkat output yang lebih rendah daripada yang ada jika produk yang dihasilkan oleh perusahaan kompetitif.

(2) tingkat kualitas yang lebih rendah daripada yang akan ada. Ini termasuk tidak hanya kualitas barang dan jasa sendiri, tetapi juga kualitas layanan yang terkait dengan barang dan jasa.

(3) Kemajuan lambat dalam pengembangan dan penerapan teknologi baru. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas (misalnya, kemudahan penggunaan, daya tahan, ramah lingkungan) produk, dan mereka juga dapat mengurangi biaya produksi mereka. Inovasi ini tidak diperlukan bagi pelaku monopoli seperti pada sebuah perusahaan yang sangat kompetitif, dan, pada kenyataannya, dapat menjadi strategi bisnis yang buruk.

Untuk mengawasi persaingan usaha di Indonesia, pemerintah telah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 5 tahun 1999.

Kesimpulan

Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam.

Waktu pelarangan ikhtikar menurut Imam al-Ghazali adalah dikhususkan pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit sementara orang-orang sangat membutuhkannya, sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang rendah kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk tindakan yang membahayakan tersebut.

*Penulis: Dosen Fakultas Agama Islam UMJ

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement